Besarnya volume arus keluar masuk ini menjadi tanda bahwa masalah transportasi Ibu Kota tidak lagi bicara soal Provinsi DKI Jakarta, namun Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi sebagai satu kesatuan entitas ekonomi.
Interaksi antara Jakarta dengan kabupaten dan kota di sekitarnya sudah sedemikian dekat secara ekonomi sampai ketergantungannya mencapai skala ekonomi 27-30% dari total pendapatan domestik bruto Indonesia. Dengan kata lain, pergerakan kaum komuter di Jabodetabek ini adalah penyokong besar buat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut Danang Parikesit, meringankan masalah transportasi ke dan dari Jakarta bukan hanya soal mengintegrasikan sistem transportasi Jabodetabek, melainkan juga rencana jangka panjang nasional untuk menumbuhkan kota-kota yang skala ekonominya bisa menandingi Jakarta. Tanpa mengatasi keduanya, tekanan terhadap sistem transportasi perkotaan, apa pun modanya, akan bertambah berat.
Selain mengurangi tekanan ekonomi di Jabodetabek, Danang menyarankan apa yang disebut mobility management. Jakarta, menurutnya, mau tak mau harus menggunakan teknologi informasi dalam aktivitas ekonominya. “Yang nggak perlu ketemu bisa lewat Skype, misalnya.”
!break!
Jika kereta menjadi pilihan utama bagi pekerja Jakarta yang tinggal di Depok dan Bekasi, tak banyak pilihan buat pusat permukiman lainnya seperti Bintaro. Rumah yang semakin jauh, jaringan angkutan umum yang tak bisa melayani, dan besarnya pemasukan penduduk Jabodetabek di saat bersamaan adalah kombinasi yang mendorong orang pada satu-satunya pilihan rasional yang tersisa: kendaraan pribadi.
Inilah yang kita lihat, orang-orang membeli kendaraan pribadi dalam jumlah yang signifikan, terutama motor. Data BPS mencatat, dari 2006-2010 ada peningkatan kepemilikan sepeda motor di DKI Jakarta (minus Kepulauan Seribu), dari 5,3 juta menjadi 8,7 juta. Pada periode yang sama, kepemilikan mobil tak menunjukkan tren menanjak yang cepat, yaitu dari 1,8 juta pada 2006 menjadi 2,3 juta pada 2010.
Sementara itu, JICA membandingkan jumlah perjalanan yang dilakukan pengguna motor, mobil, dan angkutan umum pada 2002 dan 2010. Yang paling menarik adalah data naik dan turunnya pengguna motor serta angkutan umum pada dua tahun perbandingan tersebut, yang mengindikasikan: para pengendara motor adalah mereka yang tadinya menggunakan angkutan umum.
Kemacetan mungkin bisa ditaklukkan dengan motor, tetapi ada risiko besar dari sisi keselamatan yang harus diperhitungkan. Rata-rata komuter pengguna motor melakukan perjalanan 15-20 km sekali jalan. Jarak perjalanan sejauh itu membuat pengendara motor terpapar pada risiko kecelakaan.
Data kecelakaan lalu lintas 2012 dari Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas Polri) menyebutkan, ada 117.949 kecelakaan yang terjadi di seluruh Indonesia, dan 111.015 kecelakaan terjadi pada pengguna sepeda motor. Di DKI Jakarta, MTI menyitir data kecelakaan lalu lintas yang terjadi, 70% melibatkan sepeda motor.
Kini, persoalannya tentu bagaimana memulihkan angkutan umum. Ada dua komponen besar yang harus ditata di sini, pertama adalah tulang belakang atau kerangka utama, dan yang kedua adalah layanan pengumpan atau feeder.
Dalam konteks kini, tulang belakang itu adalah kereta komuter Jabodetabek yang mengangkut sekitar 700 ribu penumpang, TransJakarta dengan 350 ribu penumpang, dan MRT yang diperkirakan akan mengangkut 600-700 ribu orang per hari. Total, gabungan ketiga tulang belakang ini mengangkut sekitar 1,7 juta penumpang, sementara skala jumlah perjalanan yang harus dilayani mencapai 40 juta. Maka, bukan hanya TransJakarta, MRT, atau kereta rel listrik komuter yang kini harus diperhatikan, melainkan layanan trayek angkutan umum di seluruh Jabodetabek sebagai pengumpan.
“Ini adalah titik penting reformasi angkutan umum yang harus dilakukan Pak Jokowi [Gubernur DKI Jakarta] dengan seluruh bupati dan wali kota yang ada di Jabodetabek, bagaimana menyinkronkan jaringan bus, bus-sedang, dan angkutan kota dengan tata guna lahan,” ujar Danang.
Berbeda dengan Singapura yang sudah memiliki rencana transportasi besar sejak 1967, sejarah trayek di Jabodetabek selalu berawal secara alamiah, dari inisiatif para pengusaha yang melihat potensi permintaan penumpang akan jalur angkutan umum. Merekalah yang kemudian mengusulkan izin trayek.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR