Pola seperti ini terus berlangsung tanpa ada upaya merestrukturisasi trayek seiring dengan perubahan tata ruang kota. Idealnya, ketika izin membangun mal dan perumahan keluar, trayek angkutan umum harus dievaluasi lagi efektivitasnya. Jika tidak, akan ada wilayah-wilayah komersial atau permukiman, sumber-sumber arus manusia, yang tak terangkut kendaraan umum. Bolong-bolong trayek dalam tata ruang kota inilah yang ditambal oleh moda transportasi ojek dan taksi. Bukti bahwa sektor privat lebih responsif dalam mengatasi permintaan transportasi daripada sektor publik.
Tetapi, bukan hanya ojek atau taksi yang melihat hal ini. Ada sebuah komunitas yang terbentuk secara online untuk menanggapi bolong-bolong dalam trayek angkutan umum perkotaan. “Nebengers” melakukannya bukan untuk keuntungan finansial, melainkan keuntungan sosial dan lingkungan.
“Kami punya cita-cita membawa Jakarta keluar dari kemacetan. Ini adalah alternatif solusi sosial yang kami tawarkan, dan tetap nyaman,” kata Andreas Aditya, salah satu pendiri komunitas Nebengers saat datang di acara pertemuan dengan anggota komunitasnya.
Cara kerja komunitas ini sederhana saja, ada pemberi tebengan (tumpangan) dan ada pencari tebengan. Kedua pihak sama-sama menyebut rute yang akan mereka lalui, lengkap dengan jam dan tanggal, lewat akun Twitter mereka. Jika kebetulan ada yang melewati rute tersebut, bisa saja beruntung terangkut. Imbalannya tergantung pemberi jasa. Bisa berbagi sarapan, minum, bensin, tol, atau sekadar cerita.
Komunitas ini seolah membalikkan anggapan bahwa mobil adalah ruang-ruang privat yang berjalan di tengah ruang publik. Motivasi Andika Gilang, seorang pekerja IT, rela memberi tebengan sederhana saja. “Biar kalau macet ada teman yang bisa diajak ngobrol.”
Demi kemudahan koordinasi, para pemberi dan pencari tebengan dibagi dalam distrik-distrik sendiri, selain lima wilayah Jakarta, ada distrik Bekasi, Bogor, Bandung, dan Tangerang Selatan. Namun, trennya cenderung sama, ada lebih banyak pencari tebengan daripada pemberi tebengan. Bahkan, wilayah Jakarta yang tercatat memiliki jumlah kendaraan pribadi terbanyak, Jakarta Barat, termasuk yang paling sedikit menawarkan anggotanya.
Saya bertanya pada Andreas, bukankah dengan semakin dekatnya hubungan pemilik mobil dengan kendaraan yang ia bawa, wajar jika orang tak mau berbagi ruang privatnya karena menaruh dirinya dalam risiko bahaya?
Andreas tertawa. “Jangan salah, keamanan itu bukan hanya dari pemberi tebengan. Orang yang kita tawari tebengan juga akan curiga, kenapa orang ini baik sama saya? Maunya apa?”
Irren Caroline, 21, pernah jadi objek kecurigaan seorang perempuan yang ia beri tebengan. “Dia menawari saya makanan, saya tolak, tapi kemudian saya tawari dia roti, pas dia mau ambil dia bilang, ‘Kakak, roti ini nggak diapa-apain, kan?’”
!break!
Sejak 1996, ahmad syarif, 38 tahun, menjadi pengemudi bus-sedang di Jakarta. Jalur yang ia bawa berpindah-pindah, seringnya melewati trayek Blok M-Manggarai, namun pernah juga untuk trayek Blok M-Cililitan. Juragannya punya sekitar 15 bus lain yang melayani berbagai trayek. Tetapi, tak sampai setengahnya yang masih berjalan. “Sewa [penumpang] sepi,” katanya. Ada juga yang trayeknya sudah dihapus sehingga mobilnya hanya diinapkan.
Jalur 66 yang ia supiri berpotongan dengan tiga jalur TransJakarta sekaligus. Namun, busnya tetap penuh pada jam-jam tertentu, saat sebelum masuk kerja dan sore hari. “Kalau siang kayak gini, cuma bawa bangku saja, kosong.” Tetapi, bukan TransJakarta yang ia lihat sebagai saingan, melainkan sepeda motor.
Sebelum subuh ia sudah berangkat dari rumahnya di Bintaro. Jam 05.00 pagi, bus-sedang yang ia kendarai sudah dibawa keluar dari pangkalan di lahan kosong dekat gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Jam kerjanya berakhir pukul 23.00. Dalam sehari, ia harus mendapat Rp350 ribu, setoran yang wajib diberikan kepada sang juragan. Yang ia bawa ke rumah biasanya Rp70 ribu-Rp80 ribu per hari, meski jumlah ini tidak selalu ia dapat.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR