Saat ia membandingkan dari masa awal-awal menjadi pengemudi bus-sedang, pemasukannya kini mengecil. Setoran Rp500 ribu bisa ia dapatkan, meski ongkos saat itu hanya Rp1.000. “Zamannya memang sudah beda,” kata dia.
Ahmad pernah mendapat gaji rutin dengan menjadi pengemudi TransJakarta dari 2008-2010. Penghasilannya bersih Rp1,5 juta. Jam kerjanya, meski berawal pukul 03.00 pagi, cukup teratur. Setidaknya jam 01.00 siang dia sudah selesai dan bisa pulang. Tak perlu lagi memikirkan soal setoran. Namun, ia memilih kembali ke bus-sedang karena satu hal, “Saya tak bisa di (ruangan) ber-AC.”
Jika benar bus-sedang yang ia bawa bisa mengambil penumpang dari TransJakarta, ada satu hal yang ia ingin tanyakan, tarif yang akan dibayar penumpang. “Ongkos Rp2.000 saja orang masih suka bayar seribu rupiah. Kalau sudah bus baru, AC, masa ongkos masih Rp2.000 ribu? Pasti naik. Apa mereka mau bayar?”
Yuwono, 34 tahun, punya kekhawatiran sama. Penumpang yang ia bawa punya perilaku khusus: mereka hanya naik bus-sedang untuk tujuan jarak pendek. “Dari Blok M, mereka sudah turun di Ratu Plaza atau Senayan (2,4 km). Sampai Komdak (4,5 km) itu sudah termasuk jauh.” Dengan singkatnya jarak perjalanan pengguna bus yang ia kendarai, Yuwono bertanya, apa mereka mau membayar tarif ekstra jika busnya baru dan dalam kondisi berpendingin udara. “Kalau bus seperti ini, jarang kan orang yang naik terus dari Blok M-Manggarai.”
Baru dua bulan pria berkacamata minus ini menjabat sebagai pengemudi bus-sedang. Sebelumnya, sejak 1995, Yuwono menjadi kernet untuk dua rute bus-sedang. “Dulu dapat Rp100 ribu itu gampang, sekarang dari pagi sampai malam Rp80 ribu belum tentu.”
!break!
Di tengah euforia pertumbuhan kelas menengah di Indonesia, Jakarta seolah mulai lupa pada krisis ekonomi besar yang terjadi pada 1997. Saking dahsyatnya krisis ekonomi saat itu, semua proyek infrastruktur perhubungan Jakarta sempat dihentikan. Bahkan, pada 1999, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak punya uang selain untuk membayar gaji pegawai.
Optimisme membangun proyek infrastruktur perhubungan baru dimulai lagi pada 2007, saat Sutiyoso memimpin Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berusaha mengejar kesenjangan pembangunan infrastruktur perhubungan dari 1997-2007 dengan membangun sistem bus rapid transit (BRT) atau busway. “Itulah sebenarnya investasi transportasi pertama DKI Jakarta untuk mengejar ketertinggalan 10 tahun itu,” kata Yoga Adiwinarto, Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), salah satu mitra Pemerintah Provinsi dalam pengembangan busway.
TransJakarta berhasil mengubah sistem kerja bus-bus besar dari tak teratur (unregulated) menjadi teratur (regulated). Sistem yang sampai sekarang berjalan di Jakarta, angkutan umum baru jalan jika ada penumpang, bahkan hingga penuh. Jika tak ada penumpang, mereka pun ngetem atau menunggu.
Sistem TransJakarta membayar operator bus per kilometer mereka jalan, tak peduli penumpangnya hanya satu atau seratus orang. Pendapatan dari uang tiket diambil TransJakarta, kemudian mereka membayar operator bus sesuai tagihan yang dikirim. Inilah yang rencananya juga akan diberlakukan pada penyedia jasa bus-bus-sedang, membuat layanan mereka menjadi teratur dengan cara mengintegrasikannya ke jaringan koridor TransJakarta.
Dasar pemikirannya cukup sederhana, di satu sisi, armada TransJakarta masih terlalu sedikit untuk melayani permintaan penumpang yang terlalu besar, sementara bus-bus-sedang, yang trayeknya bersinggungan dengan TransJakarta semakin kosong karena penumpangnya memilih layanan yang lebih nyaman.
Integrasi ini membuat penumpang untung: bus semakin banyak dan semakin sering datang. Pengusaha angkutan pun ikut mendapat “kue” penumpang yang kini dilayani TransJakarta, sambil bisa memperbarui bus mereka dengan armada modern. Namun, rencana ini punya tantangan besar, pertama dari sisi struktur. Syarat yang diajukan Pemerintah Provinsi pada pengusaha bus-sedang termasuk membuat pool, manajemen resmi, badan hukum, termasuk direktur. Secara teori, tidak masalah. Tetapi, kecuali untuk bus besar yang cenderung lebih tertata secara manajemen, butuh waktu lama untuk membuat konsorsium semacam ini.
“Sekarang mereka harus menggaji supir, bukan sistem setoran lagi. Dulu mereka cuma, ‘Eh mana mana? Setoran, setoran,’ sekarang mereka harus membuat tagihan kilometer jalan lalu dikirim ke TransJakarta. Belum pernah mereka bikin seperti itu. Sekarang bus-sedang mau disuruh seperti itu juga,” kata Yoga.
Meyakinkan setiap operator bukan pekerjaan sekali jalan. Pendekatannya memang lebih sosial dibandingkan proyek fisik. Tujuannya bukan sekadar memperbarui bus, melainkan juga membangun sebuah sistem transportasi modern.
Dalam enam bulan ke depan, pemerintah bisa memperbanyak rute-rute bus-sedang yang masuk ke jalur khusus TransJakarta. Yoga menjanjikan, penduduk Jakarta bisa melihat perubahan signifikan dalam dua tahun ke depan. Alasannya, saat ini sudah ada 20 bus gandeng yang beroperasi di koridor 1 TransJakarta. Sekitar 40 bus gandeng lain masih menunggu di pool karena belum mendapat STNK. Di akhir tahun nanti, bus TransJakarta akan mendapat tambahan 100 armada lagi.
Rata-rata tingkat penggunaan angkutan umum di kota-kota di Asia yang tergolong sukses adalah 40% dari total perjalanan. Dari survei JICA, sebenarnya Jakarta pernah mendekati angka itu (38% pada 2002).
Kota seperti Taipei sudah melakukan 65% perjalanan dengan angkutan umum, Hong Kong 90%, Seoul 55-60%. Daripada mengangankan transportasi umum di negara-negara Eropa atau Australia yang mirip utopia buat kita, kota-kota Asia Timur ini bisa menjadi contoh.
Selain manajemen angkutan umum, Jakarta juga sebenarnya membutuhkan manajemen lalu lintas. Alasannya, persimpangan dan kapasitas simpang (junction capacity) di Jakarta banyak yang belum bekerja optimal. Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat dari 446 simpang yang ada di kota ini, hanya 37 yang diatur secara otomatis. Sistem hitung mundur di lampu lalu lintas juga jadi salah satu penyebab terjadinya gridlock alias macet total. Variasi waktu menunggu lampu lalu lintas berubah hijau ada yang 60 detik, 120 detik, sampai 5 menit atau malah 500 detik. Hampir 10 menit menunggu kendaraan berjalan!
Ironisnya, ketika orang melihat jalanan mulai lancar, mereka yang tadinya sudah menggunakan angkutan umum akan tergoda lagi untuk menggunakan kendaraan pribadi. Alamiah saja.
Di London, misalnya, meski bus banyak tersedia dan kereta bawah tanah baru saja merayakan 150 tahun beroperasi pada Maret 2013 lalu, tetap saja kota itu mengalami kemacetan. “Mereka bahkan sudah sampai memakai electronic road pricing. Parkir bukan hanya mahal, melainkan juga susah. Tetap saja ada orang-orang yang masih mau menggunakan mobil, masih mau macet, karena mereka masih mampu untuk naik mobil,” ujar Yoga.
Di Jabodetabek, penggunaan kendaraan pribadi bukan hanya pilihan yang diambil orang karena buruknya kualitas angkutan umum, melainkan juga atas alasan murah. Pengeluaran pemakai kendaraan pribadi saat ini hanya bahan bakar dan parkir. Saat opsi kendaraan umum sudah ada dan harga parkir dibuat mahal, pengguna motor akan menjadi kelompok pertama yang kembali lagi ke angkutan umum. Buat pengguna mobil, ada harga ekstra yang seharusnya mereka bayar untuk kenyamanan pribadi. Jika biaya parkir di gedung-gedung perkantoran bisa dinaikkan jadi Rp10 ribu per jam, dalam sebulan pengguna mobil bisa menghabiskan Rp1,6 juta (dalam 20 hari kerja) hanya untuk parkir. Tambahkan Rp1,5 juta lagi untuk biaya bensin per bulan, maka total pengeluaran untuk menggunakan mobil ke dan dari tempat kerja bisa sampai Rp3 juta per bulan.
Idealnya, pengeluaran transportasi hanya 10% dari pemasukan seseorang. Artinya, apabila skenario ini berjalan, hanya orang-orang dengan pendapatan Rp15-30 juta saja yang masih mampu naik mobil.
Saya menanyakan kepada Ancha Anwar “sang pelari cepat”, apakah ia membayangkan akan membeli atau menggunakan mobil untuk bekerja sehari-hari? Dia bilang tak terbersit sama sekali. Atau, bisakah dia membayangkan suatu saat tak lagi menggunakan kereta meski kondisinya tetap sama atau malah memburuk? Dia bilang tidak. “Transportasi di Jakarta, apa sih yang nyaman selain disopiri?”
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR