Tak perlu waktu lama untuk mencari tanda-tanda ketidakpuasan para komuter pengguna kereta rel listrik (KRL), yang akan menuju tempat kerja mereka di Jakarta. Di peron Stasiun Depok suatu pagi pada pertengahan April lalu, saya mencatat berbagai ekspresi kekesalan ketika mendengar petugas mengumumkan gerbong kereta ekonomi tujuan Tanah Abang masih berada di depo.
Ada yang menghela napas, berdecak keras, sampai mengeluarkan umpatan kotor yang volumenya bisa didengar sesama calon penumpang. Saya berdiri diapit dua perempuan muda bertubuh kecil, mengenakan pakaian kantoran—celana kain, blazer, jilbab, serta riasan mata dan bibir. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 06.15. Beberapa menit kemudian, suara petugas terdengar lagi di pengeras suara. Kali ini memberitahu bahwa gerbong yang kami tunggu sedang menjalani pemeriksaan di depo. Menjelang 06.30, suara yang sama melaporkan bahwa kereta sudah selesai diperiksa dan siap memasuki jalur dua.
Orang-orang yang sebelumnya sudah mengantre mulai merapat. Dan, ketika kereta belum sepenuhnya berhenti, mereka meloncat masuk dengan kelihaian luar biasa. Hanya dalam sepersekian detik mereka bisa menyelisip ke depan pintu, menahan dorongan orang-orang yang berebut masuk di belakang mereka, masuk ke kereta yang masih berjalan, dan langsung mencari tempat duduk. Semuanya terjadi dalam kurang dari 5 detik!
Sebagai “penumpang amatir” pagi itu, saya tak mengharap bisa duduk. Sederetan tempat duduk di satu bagian seluruhnya diisi oleh pria usia 50-an. “Nah, sekarang tinggal tidur,” kata salah seorang dari mereka. Saat mencari tempat berdiri, seorang bapak bangkit dari kursinya, dan saya menyelinap masuk ke tempat duduk yang ia tinggalkan sambil memegang erat dua sisi tas bawaan.
Kereta mulai berjalan. Saya sempat melihat jam. Pukul 06.35.
Selama sembilan tahun tinggal di Jakarta tanpa memiliki kendaraan pribadi, saya sudah merasakan berbagai moda transportasi yang dimiliki kota ini—bus-besar, bus-sedang (seperti Metromini dan Kopaja), angkutan kota, taksi, bus TransJakarta, bajaj, bajaj BBG, ojek motor, sampai ojek sepeda di daerah Jakarta Kota.
Dalam periode waktu itu, saya menyadari bahwa menjadi pengguna kendaraan umum di Jakarta berarti menyerahkan diri pada semacam kegilaan: bus-bus berbagai ukuran dari berbagai perusahaan berbeda yang saya naiki menawarkan bunyi-bunyi dan bentuk fisik yang serupa. Yang paling khas, bunyi gemeretak kaca dan getaran besi setiap kali bergerak. Tempat duduknya tak menawarkan kelegaan buat lutut. Ukuran bangkunya pun membuat kita seolah berada di sebuah negeri yang rata-rata penduduknya berukuran 2/3 tubuh kita. Beradu pundak pun menjadi hal biasa.
Kendaraan umum ibu kota juga berlaku seolah waktu penggunanya tak terbatas, bahwa kami tak lelah, tak ingin cepat sampai di rumah, atau tak punya pekerjaan lain selain menunggu mereka untuk segera berjalan.
Namun, menuju tengah kota menggunakan kereta adalah sebuah pengalaman baru buat saya. Padahal, KRL adalah realita sehari-hari bagi ratusan ribu penduduk Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang akan mencari penghidupan di ibu kota.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama Februari 2013, ada 10,28 juta penumpang yang diangkut kereta Jabodetabek. Sementara Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Danang Parikesit, memperkirakan ada 700 ribu penumpang yang dibawa jaringan kereta ini setiap hari, baik yang resmi maupun tidak resmi.
Saking besarnya jumlah pengguna KRL dan interaksi manusia yang terjadi di dalamnya, komunitas ini pun memiliki karakteristik dan nilai-nilai sosial tersendiri.
“Mereka kompetitif,” tutur Ancha Anwar, pengguna KRL, menggambarkan karakteristik penumpang yang ia temui sehari-hari. Setiap hari, petugas penelitian dan pengembangan di sebuah perusahaan BUMN ini berusaha untuk menaiki KRL jam 05.40 dari stasiun Citayam menuju tempat kerjanya di Kalibata.
Kemampuan berlari cepat juga menjadi salah satu karakteristik pengguna KRL. Bahkan, tak sedikit yang punya kemampuan tidur lelap dalam posisi berdiri. Buat Ancha, kereta adalah pilihan rasional dan ekonomis untuk menempuh sekitar 30 kilometer ke tengah kota. Berdesak-desakan adalah bagian dari harga yang harus ia bayar untuk bisa sampai dalam 30-45 menit. “Ada teman-teman yang rencananya mau naik kereta, tetapi mereka menyerah ketika melihat kondisinya karena tidak siap mental. Mereka pikir, ‘Ah saya bisa, sama saja seperti naik busway’. Tetapi tidak, lebih parah.”
Keparahan itulah yang kemudian ditulis dan dikumpulkan Ancha dalam sebuah blog pribadi Catatan Roker. Ia bercerita soal bahunya yang menjadi tempat bersandar ketiak orang, terganggu dengan kibasan rambut perempuan yang kemudian menempel di mulutnya, berdiri di bawah mulut penumpang lain yang habis makan petai, atau bergesekan dengan tubuh pria maupun wanita dalam kereta.
Teman-temannya menganggap pengalamannya harus ia tuliskan. Dari situlah Ancha mulai mengumpulkan kisah-kisah tentang menjadi pengguna kereta di blog pribadinya. Blog Catatan Roker itu berisi tips mengenali jenis kereta, membeli tiket, sampai persiapan fisik dan mental calon pengguna sebelum menjajal moda transportasi tersebut. Sebuah penerbit independen pun tertarik dengan cerita-ceritanya lalu mengundangnya menjadi bagian dari penulis antologi kumpulan kisah penumpang kereta api berjudul sama dengan blognya.
Siti Sarah juga menjadi pengguna rutin kereta komuter dari Bogor sejak 2011, setelah ia bekerja di sebuah apartemen mewah di kawasan Karet. Sebagai pengguna kereta, ia termasuk yang bisa tidur sambil berdiri. Kereta komuter yang ia tumpangi selalu penuh dengan karyawan kantoran yang membawa ransel-ransel besar dan membuat aktivitas yang seharusnya sepele, seperti berdiri, jadi sulit dilakukan. Kaki sampai bisa tak menjejak di lantai. Berjinjit adalah cara yang dilakukan untuk menyeimbangkan badan dari guncangan akibat gerakan kereta. Bahkan, banyak orang tak berpegangan di tali pegangan, hanya bersandar pada tubuh penumpang lain di depan atau belakangnya.
“Dulu kereta citranya angkutan menengah ke bawah, tapi sekarang menengah ke atas pun naik kereta,” kata dia.
Terbatasnya tempat duduk dan ruang di kereta ternyata memunculkan nilai-nilai sosial tersendiri. Pengguna kereta ekonomi sampai bergantian duduk untuk menyiasati beratnya perjalanan. Mendengar cerita itu, saya baru paham, kenapa saya diberi tempat duduk.
Sekitar 45 menit kemudian, kereta yang saya tumpangi dari Depok berhenti di Stasiun Sudirman, tempat sebagian besar pengguna turun dan menuju kantor mereka. Di depan pintu keluar stasiun, deretan bus-sedang trayek 19 kosong sudah menunggu untuk membawa para karyawan ini menuju kantor mereka di sepanjang koridor Jalan Jenderal Sudirman.
!break!
Wacana penghapusan layanan KRL ekonomi sempat membuat penumpang panik. Aksi demo menentang penghapusan layanan itu pun melumpuhkan jalur kereta Jakarta-Bekasi selama 3 jam pada 25 Maret lalu.
Kepala Subdirektorat Angkutan, Direktorat Lalulintas dan Kereta Api, Robinson, dalam sebuah diskusi soal penghapusan KRL Ekonomi mencoba meluruskan isu tersebut. Pemerintah, menurut dia, tak berencana menghapus KRL ekonomi. Layanan itu tetap akan ada. Namun, gerbong kereta ekonomi non-AC yang ada sekarang sudah sering mengalami gangguan. “Spare part-nya sudah susah, yang mau dikanibal untuk mengganti spare part yang rusak juga sudah susah, mau habis.”
Direktur PT KAI Commuter Line Tri Handoyo menjelaskan, isunya sekarang bukan penghapusan KRL ekonomi, melainkan menghentikan kereta yang sudah tak layak lagi. Menurutnya, keuntungan dari bisnis kereta sangat tipis, dan hanya bisa hidup dari subsidi. Sistem jaringan kereta Jepang, JR East, dengan infrastruktur yang lengkap serta suplai penumpang yang tak kurang-kurang saja rata-rata untungnya hanya 4,7%. Sistem kereta Prancis juga hanya mendapat 38% pemasukan dari tiket. “Sisanya, subsidi,” ujar Tri.
Namun, Ketua Koordinator KRL Mania Nur Cahyo bilang, pengumuman tiba-tiba akan penerusan layanan KRL ekonomi ini seperti solusi instan setelah muncul kemarahan masyarakat dan menjadi isu nasional. “Kenapa tidak dari awal bilang akan ada tarif baru? Juni tinggal sebentar lagi dan kita baru tahu ada wacana ini.”
Tak banyak kelompok pengguna angkutan umum yang bisa menjadi cukup kuat seperti halnya KRL Mania. Setiap ada kebijakan soal perkeretaapian Jabodetabek, mereka punya akses ke Kementerian Perhubungan, sampai DPR, untuk menyampaikan keberatan tersebut. Bahkan, mereka pernah diundang untuk ikut mengkritisi kebijakan perkeretaapian oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat.
“Kita peduli karena kita butuh. Kalau ada kebijakan yang tidak berpihak, harus dikritisi,” Nur Cahyo mengatakan. Ia setiap hari menjalani rute komuter Depok-Cawang.
Kereta adalah bagian pertama dari tiga tulang punggung transportasi manusia ke Jakarta dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. MTI memperkirakan ada 40 juta perjalanan per hari di Jabodetabek. Survei yang diadakan JICA dan jadi acuan Kementerian Perhubungan mencatat malah ada 53 juta perjalanan di Jabodetabek setiap harinya.
Besarnya volume arus keluar masuk ini menjadi tanda bahwa masalah transportasi Ibu Kota tidak lagi bicara soal Provinsi DKI Jakarta, namun Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi sebagai satu kesatuan entitas ekonomi.
Interaksi antara Jakarta dengan kabupaten dan kota di sekitarnya sudah sedemikian dekat secara ekonomi sampai ketergantungannya mencapai skala ekonomi 27-30% dari total pendapatan domestik bruto Indonesia. Dengan kata lain, pergerakan kaum komuter di Jabodetabek ini adalah penyokong besar buat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut Danang Parikesit, meringankan masalah transportasi ke dan dari Jakarta bukan hanya soal mengintegrasikan sistem transportasi Jabodetabek, melainkan juga rencana jangka panjang nasional untuk menumbuhkan kota-kota yang skala ekonominya bisa menandingi Jakarta. Tanpa mengatasi keduanya, tekanan terhadap sistem transportasi perkotaan, apa pun modanya, akan bertambah berat.
Selain mengurangi tekanan ekonomi di Jabodetabek, Danang menyarankan apa yang disebut mobility management. Jakarta, menurutnya, mau tak mau harus menggunakan teknologi informasi dalam aktivitas ekonominya. “Yang nggak perlu ketemu bisa lewat Skype, misalnya.”
!break!
Jika kereta menjadi pilihan utama bagi pekerja Jakarta yang tinggal di Depok dan Bekasi, tak banyak pilihan buat pusat permukiman lainnya seperti Bintaro. Rumah yang semakin jauh, jaringan angkutan umum yang tak bisa melayani, dan besarnya pemasukan penduduk Jabodetabek di saat bersamaan adalah kombinasi yang mendorong orang pada satu-satunya pilihan rasional yang tersisa: kendaraan pribadi.
Inilah yang kita lihat, orang-orang membeli kendaraan pribadi dalam jumlah yang signifikan, terutama motor. Data BPS mencatat, dari 2006-2010 ada peningkatan kepemilikan sepeda motor di DKI Jakarta (minus Kepulauan Seribu), dari 5,3 juta menjadi 8,7 juta. Pada periode yang sama, kepemilikan mobil tak menunjukkan tren menanjak yang cepat, yaitu dari 1,8 juta pada 2006 menjadi 2,3 juta pada 2010.
Sementara itu, JICA membandingkan jumlah perjalanan yang dilakukan pengguna motor, mobil, dan angkutan umum pada 2002 dan 2010. Yang paling menarik adalah data naik dan turunnya pengguna motor serta angkutan umum pada dua tahun perbandingan tersebut, yang mengindikasikan: para pengendara motor adalah mereka yang tadinya menggunakan angkutan umum.
Kemacetan mungkin bisa ditaklukkan dengan motor, tetapi ada risiko besar dari sisi keselamatan yang harus diperhitungkan. Rata-rata komuter pengguna motor melakukan perjalanan 15-20 km sekali jalan. Jarak perjalanan sejauh itu membuat pengendara motor terpapar pada risiko kecelakaan.
Data kecelakaan lalu lintas 2012 dari Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas Polri) menyebutkan, ada 117.949 kecelakaan yang terjadi di seluruh Indonesia, dan 111.015 kecelakaan terjadi pada pengguna sepeda motor. Di DKI Jakarta, MTI menyitir data kecelakaan lalu lintas yang terjadi, 70% melibatkan sepeda motor.
Kini, persoalannya tentu bagaimana memulihkan angkutan umum. Ada dua komponen besar yang harus ditata di sini, pertama adalah tulang belakang atau kerangka utama, dan yang kedua adalah layanan pengumpan atau feeder.
Dalam konteks kini, tulang belakang itu adalah kereta komuter Jabodetabek yang mengangkut sekitar 700 ribu penumpang, TransJakarta dengan 350 ribu penumpang, dan MRT yang diperkirakan akan mengangkut 600-700 ribu orang per hari. Total, gabungan ketiga tulang belakang ini mengangkut sekitar 1,7 juta penumpang, sementara skala jumlah perjalanan yang harus dilayani mencapai 40 juta. Maka, bukan hanya TransJakarta, MRT, atau kereta rel listrik komuter yang kini harus diperhatikan, melainkan layanan trayek angkutan umum di seluruh Jabodetabek sebagai pengumpan.
“Ini adalah titik penting reformasi angkutan umum yang harus dilakukan Pak Jokowi [Gubernur DKI Jakarta] dengan seluruh bupati dan wali kota yang ada di Jabodetabek, bagaimana menyinkronkan jaringan bus, bus-sedang, dan angkutan kota dengan tata guna lahan,” ujar Danang.
Berbeda dengan Singapura yang sudah memiliki rencana transportasi besar sejak 1967, sejarah trayek di Jabodetabek selalu berawal secara alamiah, dari inisiatif para pengusaha yang melihat potensi permintaan penumpang akan jalur angkutan umum. Merekalah yang kemudian mengusulkan izin trayek.
Pola seperti ini terus berlangsung tanpa ada upaya merestrukturisasi trayek seiring dengan perubahan tata ruang kota. Idealnya, ketika izin membangun mal dan perumahan keluar, trayek angkutan umum harus dievaluasi lagi efektivitasnya. Jika tidak, akan ada wilayah-wilayah komersial atau permukiman, sumber-sumber arus manusia, yang tak terangkut kendaraan umum. Bolong-bolong trayek dalam tata ruang kota inilah yang ditambal oleh moda transportasi ojek dan taksi. Bukti bahwa sektor privat lebih responsif dalam mengatasi permintaan transportasi daripada sektor publik.
Tetapi, bukan hanya ojek atau taksi yang melihat hal ini. Ada sebuah komunitas yang terbentuk secara online untuk menanggapi bolong-bolong dalam trayek angkutan umum perkotaan. “Nebengers” melakukannya bukan untuk keuntungan finansial, melainkan keuntungan sosial dan lingkungan.
“Kami punya cita-cita membawa Jakarta keluar dari kemacetan. Ini adalah alternatif solusi sosial yang kami tawarkan, dan tetap nyaman,” kata Andreas Aditya, salah satu pendiri komunitas Nebengers saat datang di acara pertemuan dengan anggota komunitasnya.
Cara kerja komunitas ini sederhana saja, ada pemberi tebengan (tumpangan) dan ada pencari tebengan. Kedua pihak sama-sama menyebut rute yang akan mereka lalui, lengkap dengan jam dan tanggal, lewat akun Twitter mereka. Jika kebetulan ada yang melewati rute tersebut, bisa saja beruntung terangkut. Imbalannya tergantung pemberi jasa. Bisa berbagi sarapan, minum, bensin, tol, atau sekadar cerita.
Komunitas ini seolah membalikkan anggapan bahwa mobil adalah ruang-ruang privat yang berjalan di tengah ruang publik. Motivasi Andika Gilang, seorang pekerja IT, rela memberi tebengan sederhana saja. “Biar kalau macet ada teman yang bisa diajak ngobrol.”
Demi kemudahan koordinasi, para pemberi dan pencari tebengan dibagi dalam distrik-distrik sendiri, selain lima wilayah Jakarta, ada distrik Bekasi, Bogor, Bandung, dan Tangerang Selatan. Namun, trennya cenderung sama, ada lebih banyak pencari tebengan daripada pemberi tebengan. Bahkan, wilayah Jakarta yang tercatat memiliki jumlah kendaraan pribadi terbanyak, Jakarta Barat, termasuk yang paling sedikit menawarkan anggotanya.
Saya bertanya pada Andreas, bukankah dengan semakin dekatnya hubungan pemilik mobil dengan kendaraan yang ia bawa, wajar jika orang tak mau berbagi ruang privatnya karena menaruh dirinya dalam risiko bahaya?
Andreas tertawa. “Jangan salah, keamanan itu bukan hanya dari pemberi tebengan. Orang yang kita tawari tebengan juga akan curiga, kenapa orang ini baik sama saya? Maunya apa?”
Irren Caroline, 21, pernah jadi objek kecurigaan seorang perempuan yang ia beri tebengan. “Dia menawari saya makanan, saya tolak, tapi kemudian saya tawari dia roti, pas dia mau ambil dia bilang, ‘Kakak, roti ini nggak diapa-apain, kan?’”
!break!
Sejak 1996, ahmad syarif, 38 tahun, menjadi pengemudi bus-sedang di Jakarta. Jalur yang ia bawa berpindah-pindah, seringnya melewati trayek Blok M-Manggarai, namun pernah juga untuk trayek Blok M-Cililitan. Juragannya punya sekitar 15 bus lain yang melayani berbagai trayek. Tetapi, tak sampai setengahnya yang masih berjalan. “Sewa [penumpang] sepi,” katanya. Ada juga yang trayeknya sudah dihapus sehingga mobilnya hanya diinapkan.
Jalur 66 yang ia supiri berpotongan dengan tiga jalur TransJakarta sekaligus. Namun, busnya tetap penuh pada jam-jam tertentu, saat sebelum masuk kerja dan sore hari. “Kalau siang kayak gini, cuma bawa bangku saja, kosong.” Tetapi, bukan TransJakarta yang ia lihat sebagai saingan, melainkan sepeda motor.
Sebelum subuh ia sudah berangkat dari rumahnya di Bintaro. Jam 05.00 pagi, bus-sedang yang ia kendarai sudah dibawa keluar dari pangkalan di lahan kosong dekat gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Jam kerjanya berakhir pukul 23.00. Dalam sehari, ia harus mendapat Rp350 ribu, setoran yang wajib diberikan kepada sang juragan. Yang ia bawa ke rumah biasanya Rp70 ribu-Rp80 ribu per hari, meski jumlah ini tidak selalu ia dapat.
Saat ia membandingkan dari masa awal-awal menjadi pengemudi bus-sedang, pemasukannya kini mengecil. Setoran Rp500 ribu bisa ia dapatkan, meski ongkos saat itu hanya Rp1.000. “Zamannya memang sudah beda,” kata dia.
Ahmad pernah mendapat gaji rutin dengan menjadi pengemudi TransJakarta dari 2008-2010. Penghasilannya bersih Rp1,5 juta. Jam kerjanya, meski berawal pukul 03.00 pagi, cukup teratur. Setidaknya jam 01.00 siang dia sudah selesai dan bisa pulang. Tak perlu lagi memikirkan soal setoran. Namun, ia memilih kembali ke bus-sedang karena satu hal, “Saya tak bisa di (ruangan) ber-AC.”
Jika benar bus-sedang yang ia bawa bisa mengambil penumpang dari TransJakarta, ada satu hal yang ia ingin tanyakan, tarif yang akan dibayar penumpang. “Ongkos Rp2.000 saja orang masih suka bayar seribu rupiah. Kalau sudah bus baru, AC, masa ongkos masih Rp2.000 ribu? Pasti naik. Apa mereka mau bayar?”
Yuwono, 34 tahun, punya kekhawatiran sama. Penumpang yang ia bawa punya perilaku khusus: mereka hanya naik bus-sedang untuk tujuan jarak pendek. “Dari Blok M, mereka sudah turun di Ratu Plaza atau Senayan (2,4 km). Sampai Komdak (4,5 km) itu sudah termasuk jauh.” Dengan singkatnya jarak perjalanan pengguna bus yang ia kendarai, Yuwono bertanya, apa mereka mau membayar tarif ekstra jika busnya baru dan dalam kondisi berpendingin udara. “Kalau bus seperti ini, jarang kan orang yang naik terus dari Blok M-Manggarai.”
Baru dua bulan pria berkacamata minus ini menjabat sebagai pengemudi bus-sedang. Sebelumnya, sejak 1995, Yuwono menjadi kernet untuk dua rute bus-sedang. “Dulu dapat Rp100 ribu itu gampang, sekarang dari pagi sampai malam Rp80 ribu belum tentu.”
!break!
Di tengah euforia pertumbuhan kelas menengah di Indonesia, Jakarta seolah mulai lupa pada krisis ekonomi besar yang terjadi pada 1997. Saking dahsyatnya krisis ekonomi saat itu, semua proyek infrastruktur perhubungan Jakarta sempat dihentikan. Bahkan, pada 1999, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak punya uang selain untuk membayar gaji pegawai.
Optimisme membangun proyek infrastruktur perhubungan baru dimulai lagi pada 2007, saat Sutiyoso memimpin Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berusaha mengejar kesenjangan pembangunan infrastruktur perhubungan dari 1997-2007 dengan membangun sistem bus rapid transit (BRT) atau busway. “Itulah sebenarnya investasi transportasi pertama DKI Jakarta untuk mengejar ketertinggalan 10 tahun itu,” kata Yoga Adiwinarto, Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), salah satu mitra Pemerintah Provinsi dalam pengembangan busway.
TransJakarta berhasil mengubah sistem kerja bus-bus besar dari tak teratur (unregulated) menjadi teratur (regulated). Sistem yang sampai sekarang berjalan di Jakarta, angkutan umum baru jalan jika ada penumpang, bahkan hingga penuh. Jika tak ada penumpang, mereka pun ngetem atau menunggu.
Sistem TransJakarta membayar operator bus per kilometer mereka jalan, tak peduli penumpangnya hanya satu atau seratus orang. Pendapatan dari uang tiket diambil TransJakarta, kemudian mereka membayar operator bus sesuai tagihan yang dikirim. Inilah yang rencananya juga akan diberlakukan pada penyedia jasa bus-bus-sedang, membuat layanan mereka menjadi teratur dengan cara mengintegrasikannya ke jaringan koridor TransJakarta.
Dasar pemikirannya cukup sederhana, di satu sisi, armada TransJakarta masih terlalu sedikit untuk melayani permintaan penumpang yang terlalu besar, sementara bus-bus-sedang, yang trayeknya bersinggungan dengan TransJakarta semakin kosong karena penumpangnya memilih layanan yang lebih nyaman.
Integrasi ini membuat penumpang untung: bus semakin banyak dan semakin sering datang. Pengusaha angkutan pun ikut mendapat “kue” penumpang yang kini dilayani TransJakarta, sambil bisa memperbarui bus mereka dengan armada modern. Namun, rencana ini punya tantangan besar, pertama dari sisi struktur. Syarat yang diajukan Pemerintah Provinsi pada pengusaha bus-sedang termasuk membuat pool, manajemen resmi, badan hukum, termasuk direktur. Secara teori, tidak masalah. Tetapi, kecuali untuk bus besar yang cenderung lebih tertata secara manajemen, butuh waktu lama untuk membuat konsorsium semacam ini.
“Sekarang mereka harus menggaji supir, bukan sistem setoran lagi. Dulu mereka cuma, ‘Eh mana mana? Setoran, setoran,’ sekarang mereka harus membuat tagihan kilometer jalan lalu dikirim ke TransJakarta. Belum pernah mereka bikin seperti itu. Sekarang bus-sedang mau disuruh seperti itu juga,” kata Yoga.
Meyakinkan setiap operator bukan pekerjaan sekali jalan. Pendekatannya memang lebih sosial dibandingkan proyek fisik. Tujuannya bukan sekadar memperbarui bus, melainkan juga membangun sebuah sistem transportasi modern.
Dalam enam bulan ke depan, pemerintah bisa memperbanyak rute-rute bus-sedang yang masuk ke jalur khusus TransJakarta. Yoga menjanjikan, penduduk Jakarta bisa melihat perubahan signifikan dalam dua tahun ke depan. Alasannya, saat ini sudah ada 20 bus gandeng yang beroperasi di koridor 1 TransJakarta. Sekitar 40 bus gandeng lain masih menunggu di pool karena belum mendapat STNK. Di akhir tahun nanti, bus TransJakarta akan mendapat tambahan 100 armada lagi.
Rata-rata tingkat penggunaan angkutan umum di kota-kota di Asia yang tergolong sukses adalah 40% dari total perjalanan. Dari survei JICA, sebenarnya Jakarta pernah mendekati angka itu (38% pada 2002).
Kota seperti Taipei sudah melakukan 65% perjalanan dengan angkutan umum, Hong Kong 90%, Seoul 55-60%. Daripada mengangankan transportasi umum di negara-negara Eropa atau Australia yang mirip utopia buat kita, kota-kota Asia Timur ini bisa menjadi contoh.
Selain manajemen angkutan umum, Jakarta juga sebenarnya membutuhkan manajemen lalu lintas. Alasannya, persimpangan dan kapasitas simpang (junction capacity) di Jakarta banyak yang belum bekerja optimal. Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat dari 446 simpang yang ada di kota ini, hanya 37 yang diatur secara otomatis. Sistem hitung mundur di lampu lalu lintas juga jadi salah satu penyebab terjadinya gridlock alias macet total. Variasi waktu menunggu lampu lalu lintas berubah hijau ada yang 60 detik, 120 detik, sampai 5 menit atau malah 500 detik. Hampir 10 menit menunggu kendaraan berjalan!
Ironisnya, ketika orang melihat jalanan mulai lancar, mereka yang tadinya sudah menggunakan angkutan umum akan tergoda lagi untuk menggunakan kendaraan pribadi. Alamiah saja.
Di London, misalnya, meski bus banyak tersedia dan kereta bawah tanah baru saja merayakan 150 tahun beroperasi pada Maret 2013 lalu, tetap saja kota itu mengalami kemacetan. “Mereka bahkan sudah sampai memakai electronic road pricing. Parkir bukan hanya mahal, melainkan juga susah. Tetap saja ada orang-orang yang masih mau menggunakan mobil, masih mau macet, karena mereka masih mampu untuk naik mobil,” ujar Yoga.
Di Jabodetabek, penggunaan kendaraan pribadi bukan hanya pilihan yang diambil orang karena buruknya kualitas angkutan umum, melainkan juga atas alasan murah. Pengeluaran pemakai kendaraan pribadi saat ini hanya bahan bakar dan parkir. Saat opsi kendaraan umum sudah ada dan harga parkir dibuat mahal, pengguna motor akan menjadi kelompok pertama yang kembali lagi ke angkutan umum. Buat pengguna mobil, ada harga ekstra yang seharusnya mereka bayar untuk kenyamanan pribadi. Jika biaya parkir di gedung-gedung perkantoran bisa dinaikkan jadi Rp10 ribu per jam, dalam sebulan pengguna mobil bisa menghabiskan Rp1,6 juta (dalam 20 hari kerja) hanya untuk parkir. Tambahkan Rp1,5 juta lagi untuk biaya bensin per bulan, maka total pengeluaran untuk menggunakan mobil ke dan dari tempat kerja bisa sampai Rp3 juta per bulan.
Idealnya, pengeluaran transportasi hanya 10% dari pemasukan seseorang. Artinya, apabila skenario ini berjalan, hanya orang-orang dengan pendapatan Rp15-30 juta saja yang masih mampu naik mobil.
Saya menanyakan kepada Ancha Anwar “sang pelari cepat”, apakah ia membayangkan akan membeli atau menggunakan mobil untuk bekerja sehari-hari? Dia bilang tak terbersit sama sekali. Atau, bisakah dia membayangkan suatu saat tak lagi menggunakan kereta meski kondisinya tetap sama atau malah memburuk? Dia bilang tidak. “Transportasi di Jakarta, apa sih yang nyaman selain disopiri?”
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR