Peristiwa langka itulah yang dibuktikan Hudaya dengan menghitung ulang kejadian astronomis dan periode penulisan I-Tsing. “Ini merupakan hasil terpenting dari pembuktian matematis cum astronomis terkait pengamatan dan catatan I-Tsing,” ungkapnya. “Pembuktian ini sekaligus mengeliminasi Muara Takus maupun Palembang sebagai calon lokasi kediaman I-Tsing.”
Namun demikian, Hudaya menambahkan bahwa pengamatannya masih belum sempurna. Dia juga masih berencana untuk membandingkan pengamatan serupa di Bukit Siguntang, sebuah situs lain yang diduga menjadi pusat keagaamaan pada masa Sriwijaya awal di Palembang. “Saya sendiri belum sempat merampungkan tulisan lengkap mengenai topik ini,” ungkapnya.
Jika Hudaya mencari lokasi I-Tsing bermukim dengan menentukan situs arkeologis kemudian baru mencocokkannya dengan tinggi dan posisi matahari dalam catatan pendeta itu, Eadhiey Laksito Hapsoro melakukan hal sebaliknya.
!break!
Suatu malam di palmerah selatan, Jakarta Pusat. Saya menemui Eadhiey, seorang astro-arkeolog, yang pernah melakukan penghitungan astronomis berdasarkan tinggi dan posisi matahari untuk mencari tempat tinggal I-Tsing. Penelitian tersebut pernah dipaparkan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi 1989. Dia berpedoman pada sepuluh hari pertengahan bulan kedelapan kalender Cina dan posisi deklinasi matahari pada 671 sampai dengan 695.
Eadhiey mendapat dua simpulan. Pertama, lewat pendekatan titik balik matahari (solstice), lokasi I-Tsing diduga di sekitar Upang Sungsang di utara Palembang. Kedua, jika menggunakan metode pendekatan musim (posisi matahari terhadap khatulistiwa), Eadhiey memperoleh lokasi di sekitar Kuala Tungkal, kota kecil di muara Sungai Pangabuan, Jambi.
Namun, inti yang sejatinya tersirat dari penelitiannya adalah “Bahwa penggunaan berita I-Tsing tidak serta merta bisa menentukan sebuah lokasi,” kata Eadhiey.
Tampaknya tidak ada bayangan di tengah hari adalah sesuatu yang spesial bagi I-Tsing, demikian hemat Eadhiey. Sedangkan di Indonesia hampir tidak dijumpai bayangan di setiap tengah harinya. Itulah sebabnya gnomon harian (instrumen kuno dalam penghitungan waktu harian) tidak populer di Indonesia.“Saat siang, bayangan di khatulistiwa hampir tidak ada, kecuali hanya bayangan arah timur-barat,” katanya.
Lalu, saya bertanya kepada Eadhiey, apakah berarti catatan I-Tsing itu absurd? “Catatannya benar soal gnomon,” jawabnya. “Yang menjadi persoalan adalah kapan itu ditulis.” Tanpa tahun dan tanggal yang jitu, sulit untuk menentukan secara pasti lokasi I-Tsing. Hal lainnya, pencarian lokasi berdasar gnomon harus mengetahui dengan tepat dan benar: tinggi benda, panjang bayangan, serta posisi matahari saat itu.
Hingga kini Eadhiey pun masih kesulitan untuk mengonversikan kalender Cina ke Masehi secara eksak. Dia berharap bahwa ada upaya dari peneliti lain yang melakukan kilas balik perhitungan tanggal dan tahun secara saksama saat I-Tsing kehilangan bayang-bayangnya.
“Gerakan matahari tidak pernah sama persis dan akan kembali ke posisi yang sama—eksak—dalam 481 tahun,” kata Eadhiey. Jika semuanya ditentukan secara eksak, pasti pengamatan gnomon kelak menjawab misteri di sebelah mana I-Tsing bermukim ketika di Sriwijaya. “Itu tidak akan meragukan karena siklusnya sudah pasti.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR