Kondisi kehidupan yang sulit bagi para pekerja asing dapat ditemukan di mana-mana di dunia. Namun, segala sesuatu tentang Dubai selalu berlebihan. Sejarah modern kota ini dimulai lebih dari setengah abad yang lalu, dengan ditemukannya minyak di dekat Abu Dhabi yang saat itu merupakan kerajaan tersendiri dan merdeka, yang dipimpin seorang Syekh. Uni Emirat Arab didirikan pada 1971 sebagai federasi nasional yang mencakup enam kerajaan—kerajaan ketujuh bergabung pada tahun berikutnya. Mengingat Dubai memiliki minyak yang relatif sedikit, keluarga kerajaan di kota itu memanfaatkan porsi kekayaan baru dari negaranya untuk mengubah kota dagang kecil menjadi ibu kota komersial yang memukau dunia. Lereng ski dalam-ruang yang terkenal hanyalah salah satu sayap dari pusat perbelanjaan Dubai, dan mal ini bahkan bukan yang terbesar dari sekian banyak mal di kota ini; mal yang terbesar dilengkapi dengan akuarium tiga lantai dan arena hoki es berukuran sebesar lapangan hoki. Ke mana pun mata memandang, semuanya terlihat mewah dan baru.
!break!
Dubai kontemporer dibangun dan dipelihara oleh pekerja dari negara lain. Warga keemiran itu terlalu sedikit jumlahnya untuk melakukan tugas tersebut, dan mengapa pula bangsa kaya baru ini mengharapkan warganya menjadi pelayan atau menuangkan semen pada suhu 48 derajat Celsius? Dari 2,1 juta penduduk Dubai, hanya sekitar satu dari sepuluh orang merupakan warga Emirat. Sisanya pekerja pinjaman global, bekerja atas kontrak sementara, dan mereka tidak akan pernah ditawari kewarganegaraan Emirat.
Komunitas mereka, seperti sebagian besar negara Teluk yang mengandalkan pekerja asing, memiliki lapisan sosial yang sama kakunya seperti Amerika pada abad ke-19. Kemiripan itu terletak pada ras, jenis kelamin, kelas, negara asal, kefasihan berbahasa Inggris. Di Dubai, sebagian besar profesional dan manajer adalah orang Eropa, Amerika, Australia, Selandia Baru, dan Kanada—orang kulit putih yang sebagian besar memperoleh terlalu banyak uang untuk dianggap sebagai buruh devisa. Gaji mereka membuat mereka dapat membawa keluarga ke Dubai, mengendarai mobil Range Rovers, dan menempati apartemen di bangunan pencakar langit atau vila berpemandangan indah. Para buruh devisa-lah yang memasak dan menjaga anak-anak mereka, yang membersihkan jalanan, menjadi pramuniaga di pusat perbelanjaan, menangani resep di apotek, dan membangun pencakar langit di bawah terik matahari. Dengan kata lain, orang-orang yang menghidupkan Dubai itu bekerja sambil mengirimkan upah mereka ke kampung halaman nun jauh di sana.
Namun, kisah ini bukanlah cerita tentang pekerjaan, upah, dan PDB. Ini adalah kisah cinta: tentang ikatan keluarga, aneka tugas yang berbenturan, dan kesetiaan, serta hambatan raksasa dalam upaya menyediakan kebutuhan lahir dan batin bagi orang-orang tersayang dalam ekonomi global yang kadang terlihat terstruktur begitu sempurna untuk mencerai-beraikan keluarga.
Sebagian besar pekerja luar negeri terjebak dalam beraneka ragam kisah cinta. Teresa dan Luis Cruz menghargai aspek kehidupan sehari-hari yang membuat mereka termasuk salah satu keluarga yang beruntung: Mereka dapat hidup bersama, sebagai suami-istri, di tempat yang sama. Untuk beberapa lama, mereka sempat hidup bersama dengan semua anak mereka, anugerah langka bagi buruh devisa. Namun, lahirnya bayi keempat—keluarga Cruz adalah penganut Katolik Roma yang taat—membuat mereka kewalahan.
Luis, yang telah menikah sebelumnya dan sudah punya satu anak di Filipina, membawa pulang kedua anaknya yang lebih besar. Setiap kali bertanya kepada Teresa bagaimana rasanya kehilangan kontak fisik dengan putrinya dan putra sulungnya, wajahnya langsung muram dan kaku. "Sangat sulit," jawabnya. Dan: "Kurasa mereka menjalani hidup berkeluarga dengan baik bersama adikku." Dan: "Mereka akan belajar menjadi orang Filipina di sana."
Di Gereja Katolik St. Mary di kota ini, misa Jumat sore disampaikan dalam bahasa Tagalog. Jemaat berbahasa Inggris menghadiri misa pada hari lain, seperti halnya jemaat berbahasa Sinhala, Prancis, Tamil, Arab, Malayalam, dan Konkani. Dua bahasa terakhir adalah bahasa dari India. Pada suatu hari Jumat, Teresa dan Luis mendengarkan suara Tomasito Veneracion, pastor keturunan Filipina. Belum lama ini saya mempelajari kata baru, kata Pastor Tom dalam bahasa Tagalog: "gamofobia," rasa takut menjalani kehidupan monogami.
Kalian tidak boleh menjadi pengidap gamofobik, demikian Pastor Tom berkhotbah. Kalian tidak boleh berkata bahwa keluarga OFW (Tenaga Kerja Filipina) adalah keluarga kuat, tetapi kalian, para pekerja di luar negeri, adalah orang lemah. Hampir setiap orang Filipina di UEA punya teman atau kerabat di Filipina, dan di negara Teluk mereka menjalani pernikahan jarak jauh sambil berselingkuh, sementara pengiriman uang terus mengalir. "Jangan lupakan orang-orang yang kalian tinggalkan," ujar Pastor Tom mengingatkan. "Jangan lupakan alasan keberadaan kalian di sini."
Di kota yang sarat pekerja asing, beberapa kalimat berikut sering muncul dalam obrolan: alasan keberadaan kita di sini, orang-orang yang kita tinggalkan. Sering kali, ceritanya sama. Anak saya, suami saya, orang tua saya, dan adik saya yang masih berada di desa dan, saya takut mereka sekarang kecanduan narkoba. Karena saya ingin adik saya bersekolah di SMA. Karena meskipun kami berdelapan tinggal di sebuah ruangan yang diperuntukkan bagi empat orang saja dan harus merendam pakaian kerja kami yang kotor dalam ember sabun untuk menghilangkan baunya, majikanlah yang membayar penginapan ini, sehingga saya dapat mengirim lebih banyak uang ke kampung halaman. Karena meskipun majikan saya tidak membayar penginapan, saya bisa mengurangi biaya sewa tidak hanya dengan berbagi kamar, tetapi juga berbagi tempat tidur.
!break!
Orang yang mendapatkan giliran kerja malam atau siang hari bergantian menempati tempat tidur yang sama. Karena istri saya sedang hamil dan kami mengkhawatirkan masa depan bayi kami. Karena ini adalah cara yang diajarkan ayah saya untuk menghidupi keluarga—ketika dia meninggalkan kami, 30 tahun yang lalu, untuk melipatgandakan upahnya dan mengirim uang ke rumah.
Di Manila, terdapat sebuah blok yang hampir setiap jendela etalasenya ditempeli brosur bujukan untuk bekerja di luar negeri. KERAJAAN ARAB SAUDI, 30 Pembuat Roti Lapis. HONG KONG, 150 Pembantu Rumah Tangga. DUBAI, Penjaga Taman Bermain, Pengepak Sayuran. Pemasang Ubin, Ahli Beras, Penjaga WC Wanita (Berwajah Menarik), Pengukir Es/Buah. Tawaran pekerjaan yang memikat warga Filipina untuk bekerja di berbagai tempat di seluruh dunia. Namun, iklan yang paling menonjol adalah janji bekerja di negara-negara Teluk, terutama untuk orang yang berpendidikan rendah.
Ketika Luis masih kecil, ayahnya mengerjakan hal seperti itu, melamar sebagai tukang las di Dubai. Luis senior sekarang hanya sesekali kembali ke kampung halamannya, untuk menemui wanita yang masih berstatus istrinya—hukum Filipina tidak mengizinkan perceraian. Luis dan keempat saudaranya dibesarkan tanpa kehadiran ayah, dan mereka tidak menyukai keadaan itu. "Kami semua mengantarkannya ke bandara," kata Luis. "Semua harus memeluk dan menciumnya. Itu hal yang paling tidak kami sukai. Semua menangis."
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR