Saya bertemu dengan puluhan pekerja yang paling dikhawatirkan Shahin. Mereka merupakan orang-orang yang memotong baja dan menyeretnya ke pantai. Banyak di antaranya memiliki bekas luka bergerigi. “Tato Chittagong,” itulah sebutan salah seorang di antara mereka. Ada yang kehilangan jari. Ada juga yang buta sebelah.
Di salah satu rumah, saya bertemu dengan sebuah keluarga yang empat anak laki-lakinya bekerja di lapangan. Anak sulung, Mahabub, 40, baru bekerja dua minggu sebagai pembantu pemotong baja ketika menyaksikan seorang lelaki terbakar sampai mati ketika obornya meledakkan kantong gas di geladak bawah. “Saya bahkan tidak meminta gaji saya karena takut mereka tidak mengizinkan saya pergi,” katanya, menjelaskan bahwa majikannya sering mengintimidasi para pekerja untuk merahasiakan kecelakaan yang terjadi.
Dia menunjuk sebuah foto di dalam lemari kaca kecil. “Ini Jahangir, adik saya, anak kedua,” kata Mahabub. Jahangir mulai bekerja pada usia 15 tahun, setelah ayah mereka meninggal. “Dia pemotong baja di lapangan Ziri Subedar dan mengalami luka fatal di sana pada 2008.”
Adiknya yang ketiga, Alamgir, 22, tidak ada di rumah. Dia terjatuh dari ketinggian sekitar 25 meter ke dalam palka. Ajaibnya, cukup banyak air di dasar kapal sehingga dia tertahan dan selamat. Esoknya, Alamgir berhenti bekerja.
Adik bungsunya, Amir, 18, masih bekerja sebagai pembantu pemotong. Dia anak laki-laki kurus berkulit mulus tanpa bekas luka dan sering tersenyum dengan gugup. Saya bertanya apakah dia takut mendengar pengalaman saudara-saudaranya. “Ya,” katanya sambil tersenyum malu-malu, seolah tidak yakin apa yang harus dikatakan selanjutnya.
Saat kami berbicara, ledakan bergemuruh mengguncang atap seng. Lalu, terdengar satu ledakan lagi. Saya melihat ke luar, berharap melihat tanda salah satu monsun ganas yang terkenal di Banglades, tetapi matahari bersinar terang. “Itu suara sepotong besi raksasa yang jatuh dari kapal,” kata anak itu. “Kami mendengarnya setiap hari.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR