Saya sudah diperingatkan bahwa sangatlah sulit memasuki lapangan pembongkaran kapal di Banglades. “Tempat ini dahulu pernah menjadi tujuan wisata,” ujar seorang laki-laki penduduk setempat. “Orang berdatangan untuk menonton para pekerja membongkar kapal laut dengan tangan kosong.
Namun, kini orang luar tidak diizinkan lagi masuk ke tempat itu.” Saya berjalan beberapa kilometer menyusuri jalanan yang sejajar dengan Teluk Benggala, di utara kota Chittagong. Di situ, 80 lapangan pembongkaran kapal masih aktif, membentang sepanjang 12 kilometer di pesisir pantai.
Setiap lapangan dilindungi pagar tinggi dengan kawat berduri di atasnya. Tampak rombongan satpam menjaga ketat tempat itu dan sejumlah tanda dipasang untuk memperingatkan para fotografer. Orang luar menjadi sangat tidak diinginkan dalam beberapa tahun terakhir ini, setelah terjadi ledakan yang menewaskan beberapa pekerja. Ledakan tersebut telah memicu protes dari para kritikus, yang mengatakan bahwa para pemilik lebih mementingkan keuntungan daripada keselamatan. “Namun, mereka tidak bisa memblokade lautan,” ujar lelaki tersebut.
Jadi, pada suatu senja, saya menyewa seorang nelayan untuk membawa saya menyusuri lapangan itu dari lautan. Saat air pasang, laut seakan menelan deretan tanker minyak dan kapal kontainer yang tertambat di pantai. Beberapa kapal laut tampak masih utuh, seolah-olah baru saja tiba di tempat itu. Kapal lainnya kini tinggal kerangka, lapisan bajanya telah dikelupas, mengungkapkan palka hitam raksasa.
Masa pakai kapal seperti ini berkisar antara 25 sampai 30 tahun, sehingga sebagian besar dari deretan kapal ini kemungkinan diluncurkan pada 1980-an. Namun, meningkatnya biaya asuransi dan pemeliharaan kapal tua membuatnya tidak lagi menguntungkan untuk dioperasikan. Sekarang sebagian besar nilai kapal-kapal itu terdapat pada rangka bajanya.
Hampir semua awak pembongkar telah pulang hari itu. Tiba-tiba hujan bunga api berhamburan dari buritan yang terletak beberapa lantai di atas kami. Ada kepala menjulur, lengannya melambai dengan penuh semangat. “Ayo, menjauh! Kami sedang memotong bagian ini,” teriak seorang lelaki. “Kalian mau mati?”
Kapal-kapal yang dibuat untuk mengarungi lautan itu tidak pernah dimaksudkan untuk dibongkar. Kapal itu dirancang untuk menahan kekuatan ekstrem di beberapa lingkungan tersulit di bumi, dan sering dibuat dengan menggunakan bahan beracun, seperti asbes dan timbal. Ketika kapal ini dibongkar di negara maju, prosesnya lebih ketat dan mahal, sehingga sebagian besar pembongkaran kapal di dunia dilakukan di Banglades, India, dan Pakistan, yang tenaga kerjanya murah dan pengawasannya minimal.
Reformasi industri dimulai secara lambat, tetapi pasti. India kini mensyaratkan lebih banyak perlindungan untuk para pekerja dan lingkungan. Namun, di Banglades, tempat dibongkarnya 194 kapal pada 2013, industri itu masih sangat kotor dan berbahaya.
Bisnis ini masih sangat menguntungkan. Para aktivis di Chittagong bercerita bahwa dalam tiga sampai empat bulan, setiap kapal di lapangan pembongkaran Banglades rata-rata menghasilkan keuntungan sekitar sepuluh miliar rupiah untuk investasi sebesar lima puluh miliar rupiah. Sementara itu, keuntungan di Pakistan kurang dari Rp2 miliar. Saya menghubungi Jafar Alam, mantan kepala Asosiasi Pembongkaran Kapal di Banglades. Dia membantah margin keuntungan yang begitu tinggi.
Berapa pun keuntungan yang sebenarnya, hal itu didapatkan dengan mendaur ulang lebih dari 90 persen badan setiap kapal. Proses ini dimulai setelah rombongan pembongkar kapal mendapatkan kapal dari makelar internasional yang memperdagangkan kapal usang. Seorang kapten yang mengkhususkan diri dalam kegiatan menambatkan kapal besar dipekerjakan untuk mengirimkan kapal usang ini ke lapangan pembongkaran.
Usai kapal ditambatkan di tengah lumpur, cairan di dalamnya disedot keluar, termasuk sisa solar, oli mesin, dan bahan kimia pemadam kebakaran, yang kemudian dijual kembali. Lalu, mesin dan berbagai barang lainnya dilucuti. Semuanya dijual kepada tukang loak.
“Kedengarannya seperti bisnis yang bagus, kalau Anda tidak memperhitungkan racun yang meresap ke dalam tanah kami,” kata Muhammad Ali Shahin, seorang aktivis di LSM Shipbreaking Platform. “Atau, kalau Anda tidak bertemu dengan janda para pemuda yang tubuhnya remuk tertimpa potongan baja atau mati kehabisan napas di dalam kapal.” Selama lebih dari sebelas tahun, Shahin berupaya untuk meningkatkan kesadaran tentang penderitaan pekerja lapangan ini. “Saya tidak mengatakan pembongkaran kapal harus sama sekali dihentikan,” katanya. “Tetapi, hal itu harus dilakukan dengan lebih bersih dan lebih aman dengan perlakuan yang lebih baik bagi para pekerjanya.”
Kecaman-kecamannya tidak hanya ditujukan kepada para pembongkar kapal di Banglades saja. “Di dunia Barat, Anda tidak akan membiarkan orang mencemari negara Anda dengan membongkar kapal di pantai Anda. Lalu, mengapa Anda membiarkan para pekerja miskin mempertaruhkan hidup mereka untuk membongkar kapal yang tidak Anda inginkan itu, di negara kami?”
Saya bertemu dengan puluhan pekerja yang paling dikhawatirkan Shahin. Mereka merupakan orang-orang yang memotong baja dan menyeretnya ke pantai. Banyak di antaranya memiliki bekas luka bergerigi. “Tato Chittagong,” itulah sebutan salah seorang di antara mereka. Ada yang kehilangan jari. Ada juga yang buta sebelah.
Di salah satu rumah, saya bertemu dengan sebuah keluarga yang empat anak laki-lakinya bekerja di lapangan. Anak sulung, Mahabub, 40, baru bekerja dua minggu sebagai pembantu pemotong baja ketika menyaksikan seorang lelaki terbakar sampai mati ketika obornya meledakkan kantong gas di geladak bawah. “Saya bahkan tidak meminta gaji saya karena takut mereka tidak mengizinkan saya pergi,” katanya, menjelaskan bahwa majikannya sering mengintimidasi para pekerja untuk merahasiakan kecelakaan yang terjadi.
Dia menunjuk sebuah foto di dalam lemari kaca kecil. “Ini Jahangir, adik saya, anak kedua,” kata Mahabub. Jahangir mulai bekerja pada usia 15 tahun, setelah ayah mereka meninggal. “Dia pemotong baja di lapangan Ziri Subedar dan mengalami luka fatal di sana pada 2008.”
Adiknya yang ketiga, Alamgir, 22, tidak ada di rumah. Dia terjatuh dari ketinggian sekitar 25 meter ke dalam palka. Ajaibnya, cukup banyak air di dasar kapal sehingga dia tertahan dan selamat. Esoknya, Alamgir berhenti bekerja.
Adik bungsunya, Amir, 18, masih bekerja sebagai pembantu pemotong. Dia anak laki-laki kurus berkulit mulus tanpa bekas luka dan sering tersenyum dengan gugup. Saya bertanya apakah dia takut mendengar pengalaman saudara-saudaranya. “Ya,” katanya sambil tersenyum malu-malu, seolah tidak yakin apa yang harus dikatakan selanjutnya.
Saat kami berbicara, ledakan bergemuruh mengguncang atap seng. Lalu, terdengar satu ledakan lagi. Saya melihat ke luar, berharap melihat tanda salah satu monsun ganas yang terkenal di Banglades, tetapi matahari bersinar terang. “Itu suara sepotong besi raksasa yang jatuh dari kapal,” kata anak itu. “Kami mendengarnya setiap hari.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR