!break!
Menara Trajanus mungkin memang propaganda, tetapi menurut para arkeolog ada benih kebenaran di dalamnya. Penggalian di situs-situs Dacia, termasuk Sarmizegetusa, terus mengungkapkan jejak suatu peradaban yang jauh lebih canggih daripada yang tersirat dari istilah “barbar”, istilah meremehkan yang digunakan bangsa Romawi.
Bangsa Dacia tidak memiliki bahasa tulis, jadi yang kita ketahui tentang budaya mereka tersaring melalui sumber-sumber Romawi. Banyak bukti menyiratkan bahwa mereka merupakan bangsa yang berkuasa di wilayahnya selama berabad-abad, menjarah dan meminta upeti dari tetangga mereka. Mereka perajin logam terampil, menambang dan melebur besi dan mendulang emas untuk membuat senjata dan perhiasan indah.
Sarmizegetusa adalah ibu kota politik dan spiritual mereka. Reruntuhan kota itu terletak tinggi di pegunungan di Rumania tengah. Pada masa Trajanus, perjalanan 1.600 kilometer dari Roma memakan waktu sekurangnya satu bulan. Untuk mencapai situs itu pada zaman sekarang, pengunjung harus melalui jalan tanah berlubang-lubang di lembah suram seperti yang dulu dihadapi Trajanus.
Pohon-pohon beech menjulang yang tumbuh lebat di atas Sarmizegetusa menghalangi matahari, menyejukkan, bahkan pada hari panas. Ada jalan batu ubin lebar yang merentang dari tembok benteng yang tebal dan setengah terkubur ke padang rumput yang luas dan datar.
Bentang hijau ini—teras yang dibentuk di lereng gunung—adalah jantung agama dunia Dacia. Masih ada sisa-sisa bangunan, campuran batu asli dan reproduksi beton, peninggalan dari upaya pemugaran yang gagal pada era komunis. Tiga lingkaran tiang batu menandai adanya kuil megah yang agak mirip dengan gedung-gedung bulat Dacia di Menara Trajanus. Di sebelahnya ada altar batu bundar yang rendah dengan motif sinar matahari, pusat suci alam semesta Dacia.
!break!
Selama enam tahun terakhir, Gelu Florea, arkeolog dari Universitatea Babeș-Bolyai di Cluj-Napoca, menggali situs itu setiap musim panas. Reruntuhan yang tersingkap, beserta artefak yang diperoleh kembali dari penjarah, mengungkapkan pusat produksi dan ritual agama yang makmur. Florea dan timnya menemukan bukti tentang keahlian militer Romawi dan pengaruh seni dan arsitektur Yunani. Menggunakan pencitraan udara, arkeolog mengidentifikasi lebih dari 260 teras buatan manusia, yang membentang hampir lima kilometer di sepanjang lembah. Luas seluruh permukiman itu lebih dari 280 hektare. “Betapa kosmopolitan kehidupan mereka di atas pegunungan,” kata Florea. “Ini permukiman terbesar, paling kompleks, dan paling mewakili di Dacia.”
Tidak ada tanda-tanda bahwa bangsa Dacia bercocok tanam di sini. Tidak ada ladang yang digarap. Sebaliknya, arkeolog menemukan reruntuhan bengkel dan rumah, bersama tungku untuk memurnikan bijih besi, berton-ton bongkah besi yang siap ditempa, dan puluhan paron. Tampaknya, kota ini menjadi pusat produksi logam, memasok orang Dacia lain dengan senjata dan perkakas yang ditukar emas dan biji-bijian.
Sulit membayangkan upacara yang pernah diadakan di sini—dan kehancuran peradaban ini.Penghancuran kuil dan altar tersuci Dacia disusul oleh kejatuhan Sarmizegetusa. “Semuanya dibongkar oleh orang Romawi,” kata Florea. “Tidak tersisa satu bangunan pun di seluruh benteng itu. Ini sebuah pertunjukan kekuatan—kami punya sarana, kami punya kekuatan, kami yang berkuasa.”
Wilayah Dacia lain juga diporak-porandakan. Di dekat puncak menara terdapat sekilas akhir cerita: sebuah desa yang dibakar, orang-orang Dacia yang berlarian, provinsi yang kosong kecuali sapi dan kambing.
Kedua perang itu tentu menewaskan puluhan ribu jiwa. Seseorang pada zaman itu mengklaim bahwa Trajanus mengambil 500.000 orang tawanan, membawa sekitar 10.000 orang ke Roma untuk bertarung dalam pertandingan gladiator yang dipentaskan selama 123 hari untuk merayakan kemenangan.
---
Andrew Curry menulis tentang garis depan Romawi dalam edisi September 2012. Kenneth Garrett sering menulis artikel untuk majalah ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR