Nationalgeographic.co.id—Makam memang kerap terasingkan di kehidupan gelumat kota. Kehidupan kota yang materialistik, keengganan menghadapi kematian dan faktor psikologis mistis membuat makam dibiarkan semerawut, kumuh, padat, seram dan angker.
Padahal untuk mengenali perjalanan peradaban sebuah kota, kita bisa mengenalinya dari makam-makam tuanya. Nisan ibarat arsip-arsip sosial yang memberikan petunjuk kepada kita tentang kehidupan masa lalu sebuah kota.
Mendengar nama Kerkhoflaan, Kebon Jahe Kober, atau Museum Taman Prasasti, sebagian besar warga Jakarta bisa jadi tidak mengenalnya. Sebaliknya, sebagian warga Jakarta, apalagi Jakarta Pusat, dipastikan bisa menunjuk persis lokasi Kantor Walikota Jakarta Pusat di Jalan Tanah Abang 1 itu. Kantor itu berdiri di atas bekas lahan Tempat Pemakaman Umum Kebon Jahe Kober alias Kerkhof, yang sudah ada sejak 1795.
Kota Batavia semula hanya berbentuk kastel kemudian berkembang menjadi kota yang dibatasi tembok pertahanan. Namun tembok-tembok tersebut tidak dapat menahan perkembangan kota yang semakin meluas keluar tembok, karena semakin banyak pelaut maupun pedagang yang singgah di kota ini. Tidak hanya dari wilayah Nusantara, namun juga dari benua lain.
Kota ini dilengkapi dengan fasilitas rumah sakit, sekolah, gereja dan fasilitas-fasilitas lainnya, termasuk tempat ibadah seperti gereja, masjid dan kelenteng. Gereja tertua yang berdiri di Batavia, tercatat berada di dalam Kasteel Batavia, Oude Koepelkerk (1626). Namun pada tahun 1628 terpaksa dibongkar untuk dijadikan tempat meriam-meriam besar.Pada tahun 1736, ada gereja baru yang diberkati, yakni Gereja Kubah (Koepelkerk), lalu diganti de Nieuwe Hollandsche Kerk.
Pada masa itu, halaman gereja juga berfungsi sebagai makam orang-orang yang telah meninggal, sehingga di halaman luar gereja banyak terdapat makam. Kondisi kota Batavia yang semakin padat menyebabkan atmosfer yang tidak sehat bagi warga kota, sehingga terserang wabah penyakit malaria, diare dan penyakit epidemic lainnya, yang menewaskan banyak korban. Bentrokan dengan pihak lain juga menyebabkan semakin banyak warga kota yang meninggal. Akibatnya, halaman gereja tidak mampu lagi sebagai lahan pemakaman.
Baca Juga: Temuan Peti Harta Karun Kapal Rempah VOC yang Berlayar ke Batavia 1740
Pemerintah Kota Batavia memutuskan mencari lahan makam baru di luar kota. Seorang bernama W.V. Halventius, putra Gubernur Jenderal Jermias Van Rimsdijk (1775-1777), dimakamkan di Nieuwe Hollandsche Kerk. Namun, kelak nisannya dipindahkan ke Kerkhof Kebon Jahe Kober. Dia menghibahkan tanah mereka di Kebon Jahe, Tanah Abang seluas 5,5 hektar ke pemerintah Kota Batavia untuk dijadikan lahan pemakaman baru.
Lokasi ini jauh dari tembok kota Batavia, namun cukup strategis, dekat Sungai Krukut. Jalan kecil menuju kuburan baru ini disebut Kerkhoflaan. Warga menjuluki permakaman ini sebagai Kebon Jahe Kober (kober=kuburan bersama) atau Kuburan Kebon Jahe, yang resmi digunakan pada tanggal 28 September 1795.
Bila ada warga Batavia yang meninggal dunia, puluhan perahu dan sampan dimanfaatkan untuk membawa usungan jenazah dari pusat kota menuju Kerkhof Laan, menelusuri Kali Krukut yang kala itu masih bisa dilayari. Usungan berhenti di lokasi, kini di Jl. Abdul Muis, dan dari tepi kali inilah usungan perahu jenazah berhenti, dan diangkut dengan sebuah kereta jenazah yang sudah siap mengantar ke lokasi pemakaman yang jaraknya sekitar 500 meter.
Baca Juga: Selisik Makam Kapten Tack, Perwira VOC Abad Ke-17
Pada waktu VOC dibubarkan (1799), kekuatan gedung Koepel Kerk sudah parah. Dengan dana terbatas, bagian-bagian yang rusak hendak diperbaiki, namun Gubernur Jenderal Deandels memerintahkan menjual gereja itu supaya dapat dibongkar (1808). Nisan-nisan besar dari keluarga terkemuka sebagian dijual dan sebagian dipindahkan ke Kerkhoflaan.
Batu-batu nisan diambil dari ruang tengah gereja, terdapat 48 nisan dan 24 nisan lagi dalam gang. Sampai kini beberapa nisan tersebut masih dapat dilihat di halaman, sedangkan isan lain dimasukkan ke dalam tembok luar dengan tanda HK, yang berarti Hollands Kerk. Pada tahun 1829, tanah bekas gereja ini dijual oleh pemerintah dengan syarat tidak boleh menggali tanah selain untuk meletakkan fondasi tembok gedung baru.
Baca Juga: Saatnya Gulungan Arsip VOC Ungkap Losmen Lampu Merah di Batavia
Kebon Jahe Kober berkembang menjadi makam yang prestisius, di mana banyak dimakamkan orang-orang terkenal, baik pejabat penting, pelaku sejarah, hingga selebritis di masanya. Olivia Marianne Rafles (1814), istri Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, Dr. H.F. Roll (1867-1935), pencetus gagasan dan pendiri Stovia, Dr. J.L.A. Brandes (1857-1905), ahli sejarah purbakala Hindu Jawa di Indonesia, Miss Riboet atau yang sohor dengan julukan MissTjitjih (1900-1965), tokoh panggung sandiwara rakyat legendaris. Selain itu juga dipergunakan untuk memakamkan orang-orang yang dipersamakan dengan Belanda. Hal ini terus berlangsung hingga 1945.
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan pemakaman ditangani oleh Yayasan Verburg (1945-1947) di bawah Pemerintahan Gemeente Batavia. Namun karena situasi pemerintahan peralihan pada awal kemerdekaan, maka pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Palang Hitam milik keluarga J.M. Panggabean selama 1947-1967.
Baca Juga: Kesaksian Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai 'Kota Tahi'
Sejak 1967, pengelolaan makam dialihkan ke Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang dilaksanakan oleh Dinas Pemakaman DKI Jakarta (1967-1975). Untuk menjaga dan memelihara kesinambungan sejarah Indonesia pada umumnya dan sejarah Jakarta khususnya, maka pada tahun 1975 tempat ini dinyatakan tertutup untuk pemakaman. Namun prasasti nisan ataupun berupa bangunan makam, tidak diperbolehkan dipindahkan.
Jumlah prasasti nisan yang terpilih saat itu berjumlah kurang lebih 1.200 buah, sedang jumlah makam yang tercatat terurus sebelum pembongkaran kurang lebih 4600 buah. Prasasti-prasasti yang berbentuk datar umumnya ditempelkan pada dinding tembok sisi Selatan, Utara dan sebagian sisi Timur. Sedang prasasti-prasasti yang berbentuk tugu/patung ditempatkan pada areal taman yang terbagi atas sebelas kavling dan diselingi oleh berbagai jenis pohon pelindung.
Baca Juga: Sebuah Kado Sial di Hari Ulang Tahun Dipanagara
Pada masa 1975-1977, sejak penutupan sebagai area kuburan, lahan dibiarkan terlantar. Beruntung pemerintah daerah saat itu masih melihat potensi lahan pemakaman ini, sehingga berkesimpulan untuk dipugar, ditata-ulang, dan dikembangkan menjadi Museum. Penataan dan pemilihan kembai koleksi prasasti batu nisan makam-makam yang memiliki nilai sejarah penting pun dilakukan. Namun, luas lahan pemakaman mengalami penyempitan, mulai dari 5,5 hektar menjadi 1,3 hektar.
Selanjutnya Kebon Jahe Kober untuk pertama kalinya dipugar, dan diresmikan menjadi “Museum Taman Prasasti”, pada tanggal 9 Juli 1977 oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, H. Ali Sadikin dan selanjutnya dikelola Dinas Museum dan Sejarah (kini Dinas Kebudayaan dan Permuseuman) Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Baca Juga: Perjalanan Panjang Nisan VOC: Kapten Tack dan Keluarga Mertuanya
Menurut sejarawan Kota Jakarta, Adolf Heuken, Kebon Jahe Kober merupakan taman pemakaman umum modern tertua yang masih tersisa di Jakarta. Bahkan, salah satu yang tertua di dunia. Lebih tua dari Fort Canning (1926) di Singapura, Gore Hill Cemetery (1868) di Sydney, La Chaise Cemetery (1803) di Paris, Mount Auburn Cemetery (1831) di Cambridge, Massachusetts (yang diklaim sebagai taman makam modern pertama di dunia), atau Arlington National Cemetery (1864) di Washington DC yang menjadi ikon visual lanskap sejarah Amerika Serikat.
Atina Winaya, ahli arkeologi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengungkapkan dalam laporan penelitiannya tentang permakaman tinggalan kolonial ini. Menurutnya, permakaman tua di sebuah kota merupakan data arkeologi yang sungguh penting, sama pentingnya dengan situs permukiman atau situs keagamaan.
"Situs pemakaman, khususnya yang berasal dari masa kolonial, kerapkali dianggap sebagai tempat yang sepi dan menyeramkan," demikian Atina melaporkan. "Padahal, secara tidak disadari, tempat tersebut menyimpan berbagai macam informasi menarik mengenai komposisi penduduk suatu kota di masa lampau."
Baca Juga: Bincang Redaksi: 280 Tahun Geger Pacinan, Singkap Arsip VOC dan Persekutuan Cina-Jawa 1740-1743
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR