Pemerintah perlu mendesain Malioboro agar menjadi nyaman
kembali.
Untuk seniman hendaknya diberi ruang untuk berkreasi dan berkesenian.
Menurut budayawan UGM, Prof. Sutaryo, revitalisasi kawasan Malioboro
harus memperhatikan aspek
budaya dan sosiologis.
Panggung-panggung mini, misalnya, atau pemanfaatan taman kota bagi penampilan para seniman. "Ini bisa dilakukan untuk tetap melestarikan Yogya sebagai kota budaya," pungkas Sutaryo. Bahkan pemerintah pun bisa menjadwal para seniman untuk memamerkan kebolehan. Katanya, asalkan ada bantuan biaya dan wadah untuk berkesenian, maka seniman tetap akan berkarya.
Dengan demikian, taman-taman hias di Maliboro tidak hanya sebagai pajangan saja melainkan pula berfungsi secara sosial untuk terus melahirkan kreativitas budaya.
Sekarang hampir 90 persen kawasan Malioboro lebih banyak pada komoditas
ekonomi, dan tidak ada ruang bagi seniman untuk berkarya. Padahal senimanlah pihak yang berkontribusi melahirkan budaya.
Karenanya, keterlibatan seniman perlu dalam rencana penataan kawasan ini
yang rencananya akan dilakukan 2012 mendatang. "Dalam membicarakan
revitalisasi atau penataan Malioboro, semestinya
seniman diajak berdialog. Hingga saat ini dialog sangat minim," tambah
Ong Harry Wahyu, seorang
seniman Yogya.
Ong menjelaskan, banyaknya toko dan pedagang kaki lima di sepanjang jalan
Malioboro menyebabkan ketidaknyamanan sendiri bagi seniman. Sejak tahun 1990-an seniman tidak lagi menggunakan Malioboro
sebagai ruang berkumpul. Ini sangat berbeda ketika
pada 1970-an, seniman menggunakan Malioboro untuk tempat kongkow
dengan tujuan penciptaan dan saling berbagi ide kreativitas.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR