Agar pejalan kaki tidak bosan dengannya ia selalu berpindah tempat. “Sabtu, Minggu, dan Senin di jembatan penyeberangan Sarinah. Hari lainnya di Kuningan, Dukuh Atas, dan Wisma."
Ia masih punya satu mimpi. “Dalam tiga tahun ini saya harus bikin solo album, itu keinginan saya.”
Nasib Luki masih ditentukan oleh kegigihannya untuk mengejar mimpi. Itu yang menggerakkannya untuk tetap tetap maju ke depan walau harus mengalunkan nada-nada indahnya di tengah kebisingan jalan kota Jakarta. “Doakan saya bisa bikin album.” Begitu pintanya sebelum kami berpisah.
Suara saksofonya masih membahana, kendaraan tetap ramai berlalu-lalang. Kebisingan mesin kendaraan tak mampu membungkan nadanya. Orang-orang jalan bergegas di lorong jembatan penyeberangan.
Bagi sebagain orang mungkin dia penghambat dan mengganggu di lorong itu. Sebagian lagi mengapresiasinya sebagai anak muda yang mencintai seni dan berjuang untuk hidup di Jakarta.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR