Ada sumber yang menyebutkan, bahwa Westerling dipecat lantaran aksi jagalnya di Sulawesi Selatan. Namun, ada juga yang mengungkapkan timbulnya perseteruan dirinya dan Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Simon Spoor, disebut-sebut sebagai penyebab Westerling dikeluarkan dari KNIL.
Westerling menolak penugasan Operatie Kraai dari Spoor tentang penyerbuan ke Maguwo, Yogyakarta—kelak dikenal sebagai Aksi Polisional Belanda II pada 19 Desember 1948. Kekhawatiran Westerling soal penyerbuan ke Yogyakarta yang hanya akan melemahkan posisi politis Belanda itu belakangan terbukti.
Satu bulan jelang penyerbuan tersebut, Westerling mengakhiri karir militernya. Westerling menyerahkan komando Korps Speciale Troepen kepada Letkol W.C.A. van Beek pada 11 November 1948 pukul sebelas pagi. Penyerahan resmi ini dilakukan di hadapan Jenderal D.C.Buurman van Vreede, dan Kepala Staf Panglima Tertinggi Jenderal Spoor.
Baca Juga: 19 Desember 1948: Operasi Gagak di Langit Yogyakarta
Sejak saat itu dia hidup di kawasan perbukitan di Cililin dan Pacet, Jawa Barat. Pada 1949, dia menceraikan istrinya yang hidup di London yang telah dinikahinya selama empat tahun.
Kemudian pada tahun yang sama, dia menikahi perempuan Indo keturunan Prancis, Yvone Fournier. Putri pertama perkawinannya dengan Yvone telah lahir pada 1948, namanya Celia Veldhuis. Sebagai seorang sipil, Westerling hidup bersama warga desa setempat. Entah apa yang dipikirkan warga tentang mantan penjagal itu, namun tampaknya Westerling sukses membaur dengan mereka.
Petrik Matanasi dalam bukunya Westerling: Kudeta Yang Gagal, yang terbit pada 2007, mengungkapkan riwayat petualangan Westerling. Bagi sebagian tentara, perang adalah kehidupan ataupun sumber penghidupan. Namun bagi Westerling, perang adalah petualangan yang menyenangkan.
Sebagai mantan pelatih Korps Speciale Tropen (KST), dia dengan mudah mendapatkan dua truk militer bekas KNIL. Dengan kendaraan itu dia pun menjadi juragan jasa angkutan hasil perkebunan—Transport Onderneming—yang beroperasi di seputar Bandung-Jakarta. Tak seorang bandit kampung pun yang berani memberhentikan laju truk-truk miliknya, demikian ungkap Petrik.
Baca Juga: 'Indonesia Dalem Api dan Bara': Kronik Kota Sampai Analisis Bahasanya
Bagi Westerling yang menjadikan perang adalah kegemaran, mobilitas armada truknya telah memberikan peluang untuk menggalang kekuatan dan membuat siasat untuk mengacaukan Republik. Siasatnya mendapat dukungan dari militer Belanda dan sipil Indo-Belanda, jaringan intelijen, dan berhubungan dengan kelompok-kelompok pribumi yang tidak setuju adanya negara kesatuan Republik Indonesia.
Westerling menggunakan nama Angkatan Ratu Adil (APRA) sebagai gerakan militer dalam selimut Republik. Nama ini digunakan untuk mendapatkan simpati dari warga seolah jelmaan “Ratu Adil” dalam Jangka Jayabaya—naskah ramalan yang konon ditulis oleh Raja Kediri, Jayabaya.
Namun, kudetanya lewat APRA dapat ditumpas—hanya mengacaukan Bandung. Westerling pun menjadi orang dalam pelarian, diburu oleh APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) dan Polisi Militer Belanda.
Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai 'Salam Djempol' di Jawa
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR