Nationalgeographic.co.id—“Kalau hanya senyum yang engkau berikan, Westerling pun tersenyum...” demikian seloroh Iwan Fals dalam salah satu lagunya. Turk, julukan Raymond Paul Pierre Westerling, mendadak sohor usai membantai ribuan jiwa rakyat Sulawesi Selatan selama 1946-1947.
Dia menerapkan teror pengadilan lapangan untuk mengorek informasi dari rakyat seputar keberadaan gerilyawan Republik. Tak hanya rakyat Sulawesi yang merinding, warga kulit putih pun gentar mendengar namanya. Dalam operasinya dia memiliki semboyan yang boleh dibilang bijak, "Jangan memaksa yang tidak bersalah untuk menutupi yang bersalah. Jangan memberi mereka kesamaan apa pun dan selalu berusaha untuk memisahkan yang bersalah dari yang tidak bersalah."
Rakyat Jawa Barat pun turut merasakan demam teror tatkala Westerling ditugaskan sebagai pelatih Depot Speciale Tropen, pasukan elit para-komando—pada 1947-1948. Setelah itu dia keluar dari dinas militer KNIL.
Ada sumber yang menyebutkan, bahwa Westerling dipecat lantaran aksi jagalnya di Sulawesi Selatan. Namun, ada juga yang mengungkapkan timbulnya perseteruan dirinya dan Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Simon Spoor, disebut-sebut sebagai penyebab Westerling dikeluarkan dari KNIL.
Westerling menolak penugasan Operatie Kraai dari Spoor tentang penyerbuan ke Maguwo, Yogyakarta—kelak dikenal sebagai Aksi Polisional Belanda II pada 19 Desember 1948. Kekhawatiran Westerling soal penyerbuan ke Yogyakarta yang hanya akan melemahkan posisi politis Belanda itu belakangan terbukti.
Satu bulan jelang penyerbuan tersebut, Westerling mengakhiri karir militernya. Westerling menyerahkan komando Korps Speciale Troepen kepada Letkol W.C.A. van Beek pada 11 November 1948 pukul sebelas pagi. Penyerahan resmi ini dilakukan di hadapan Jenderal D.C.Buurman van Vreede, dan Kepala Staf Panglima Tertinggi Jenderal Spoor.
Baca Juga: 19 Desember 1948: Operasi Gagak di Langit Yogyakarta
Sejak saat itu dia hidup di kawasan perbukitan di Cililin dan Pacet, Jawa Barat. Pada 1949, dia menceraikan istrinya yang hidup di London yang telah dinikahinya selama empat tahun.
Kemudian pada tahun yang sama, dia menikahi perempuan Indo keturunan Prancis, Yvone Fournier. Putri pertama perkawinannya dengan Yvone telah lahir pada 1948, namanya Celia Veldhuis. Sebagai seorang sipil, Westerling hidup bersama warga desa setempat. Entah apa yang dipikirkan warga tentang mantan penjagal itu, namun tampaknya Westerling sukses membaur dengan mereka.
Petrik Matanasi dalam bukunya Westerling: Kudeta Yang Gagal, yang terbit pada 2007, mengungkapkan riwayat petualangan Westerling. Bagi sebagian tentara, perang adalah kehidupan ataupun sumber penghidupan. Namun bagi Westerling, perang adalah petualangan yang menyenangkan.
Sebagai mantan pelatih Korps Speciale Tropen (KST), dia dengan mudah mendapatkan dua truk militer bekas KNIL. Dengan kendaraan itu dia pun menjadi juragan jasa angkutan hasil perkebunan—Transport Onderneming—yang beroperasi di seputar Bandung-Jakarta. Tak seorang bandit kampung pun yang berani memberhentikan laju truk-truk miliknya, demikian ungkap Petrik.
Baca Juga: 'Indonesia Dalem Api dan Bara': Kronik Kota Sampai Analisis Bahasanya
Bagi Westerling yang menjadikan perang adalah kegemaran, mobilitas armada truknya telah memberikan peluang untuk menggalang kekuatan dan membuat siasat untuk mengacaukan Republik. Siasatnya mendapat dukungan dari militer Belanda dan sipil Indo-Belanda, jaringan intelijen, dan berhubungan dengan kelompok-kelompok pribumi yang tidak setuju adanya negara kesatuan Republik Indonesia.
Westerling menggunakan nama Angkatan Ratu Adil (APRA) sebagai gerakan militer dalam selimut Republik. Nama ini digunakan untuk mendapatkan simpati dari warga seolah jelmaan “Ratu Adil” dalam Jangka Jayabaya—naskah ramalan yang konon ditulis oleh Raja Kediri, Jayabaya.
Namun, kudetanya lewat APRA dapat ditumpas—hanya mengacaukan Bandung. Westerling pun menjadi orang dalam pelarian, diburu oleh APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) dan Polisi Militer Belanda.
Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai 'Salam Djempol' di Jawa
Dia melarikan diri dan hidup dalam persembunyian di rumah kolega, pabrik, sebuah panti asuhan di Kramat Jakarta, dan taman-taman. Akhirnya, pihak Belanda dan Indonesia sepakat untuk membiarkan Westerling lenyap dalam senyap. Alasannya, untuk menjaga hubungan diplomatis kedua negara itu di kala mendatang.
Dengan paspor bernama palsu dan seragam Angkatan Laut Belanda, Westerling diterbangkan dari perairan Tanjung Priok dengan pesawat Catalina. Dia mendarat di Tanjung Pinang. Dia nyaris tenggelam dengan perahunya, namun mujur terselamatkan. Kemudian dia mendekam di penjara Singapura beberapa bulan atas tuduhan masuk tanpa izin dan paspor palsu.
Akhirnya, lewat Belgia, Westerling berjejak ke Belanda lagi. Dia dan istrinya tinggal di sebuah kota kecil di Provinsi Friesland. Dia juga sempat mengisi hari-harinya dengan belajar menyanyi di Konservatorium Amsterdam. Delapan tahun setelah pemberontakan APRA, dia berpentas sebagai penyanyi tenor Puccini Tosca, di Breda, Belanda. Pentas tersebut merupakan pagelaran pertama dan terakhir baginya.
Baca Juga: Mata-mata Cilik di Balik Gemilang Serangan Umum 1 Maret 1949
Kehidupan Westerling berlanjut ke Amsterdam dengan membuka sebuah toko buku langka. Dia meninggal karena gagal jantung pada akhir 1987 dalam usia 68 tahun. Batu nisannya di Purmerend bertuliskan “Voormalig Commandant van het K.S.T. Rakjat Memberi Beliau Gelar Ratu Adil, Rechvaardige Vorst” dan dibubuhi lambang Korps Speciale Tropen.
"Dia begitu kecewa dengan kelakuan pemerintah kepadanya," kenang Celia Veldhuis, putri pertama Westerling dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Jakarta Post akhir tahun lalu. "Dia mengabdi kepada negaranya, dan setelah itu dia menjadi kambing hitam. Dia harus berjuang hanya untuk mendapatkan pensiun tentaranya yang jumlahnya tak seberapa. "
Baca Juga: Sepenggal Kisah Monumen Divisi Tujuh Desember di Jantung Jakarta
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR