Merry menambah kecepatannya perlahan-lahan. Saya berdiri di atasnya, menentang angin, memandang ke depan, penuh antusiasme. Inilah saat yang telah saya tunggu-tunggu sejak lama: pergi ke “taman jurasik”, Taman Nasional Komodo, akhirnya menjadi nyata.
Sekaranglah saatnya, sebentar lagi, lihat nanti saat Merry yang putih dan cantik ini membawa saya merapat ke Loh Liang, gerbang taman nasional yang terletak di Pulau Komodo. Bahkan kedatangan saya untuk pertama kali ini dengan cara yang tak terpikirkan.
Bagaimana tidak. Merry adalah kapal pesiar mewah. Ia membawa rombongan undangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berlayar sejak dari Labuan Bajo di ujung barat Pulau Flores, yang baru kami tinggalkan di belakang. Sebenarnya, kalau mau nyaman dan mewah, kapasitas kapal ini hanyalah delapan orang, sesuai kapasitas saat bermalam,” jelas seorang awak.
Namun, untuk rombongan 40-an orang ini pun kemewahan Merry masih terasa. Tempat favorit saya adalah geladak di bagian atas, di mana pemandangan dapat leluasa dinikmati ke segala arah.
Tak seberapa lama lagi kami merapat ke dermaga Loh Liang. Daratan Pulau Komodo yang terhampar di depan kami tampak kelam dinaungi langit kelabu yang perlahan-lahan menjadi semakin gelap. Hujan segera turun.
“Awas, hati-hati! Jangan berjalan sendirian memisahkan diri dari rombongan,” begitu kata para petugas Balai Taman Nasional Komodo yang menemani kami dalam iring-iringan menempuh hujan gerimis. Di saat lebih dari 40 orang berjalan bersama di kawasan taman nasional dalam iring-iringan mengular, sebagian di antaranya sambil mengobrol dan bercanda, ketika itu pulalah harapan untuk melihat lebih banyak satwa liar perlahan-lahan harus ditepis dari angan.
Bagaimanapun, sebagai predator penguasa pulau ini, komodo memang perlu diwaspadai. Alasannya mungkin tidak terlalu banyak, tapi semuanya mematikan: gigi-gigi komodo seperti gergaji melingkar dan bisa mengait, pemakan daging, bagus dalam akselerasi, dan kecepatan rata-rata puncaknya mencapai 60 kilometer per jam.
Satu hal lagi: pandai bersembunyi atau menyamarkan diri di hutan. Kalaupun ada sedikit titik lemah, itu adalah staminanya. “Kalau berlari terus, komodo akan kelelahan sendiri dan akhirnya berhenti,” ucap seorang petugas. Tapi siapa yang mau mengambil risiko adu lari?
Kasus-kasus serangan komodo yang diceritakan oleh para petugas telah cukup banyak. Ada seorang anak yang diserang ketika mengambil bola sepak yang ditendang oleh temannya. Ada petugas yang rupanya sudah ditunggu komodo dan digigit kakinya begitu turun dari tangga bangunan di sekitar pos taman nasional.
Ada pula penduduk sekitar yang diserang ketika tengah mengambil kayu bakar di hutan. Salah satu puncak bukit di bahkan dinamai sesuai nama seorang asing yang meninggal diserang komodo setelah memisahkan diri dari rombongannya, pada masa lalu.
Mengerikan? Saya pikir itu relatif. Mungkin itu justru salah satu daya tariknya. Lagipula kita tidak pergi ke tempat yang disebut-sebut “taman jurasik” ini sambil berharap menemukan satwa yang bisa dielus-elus, bukan?
Untuk pertahanan diri sekaligus melindungi pengunjung, para petugas taman nasional membekali diri dengan tongkat kayu sepanjang 2-2,5 meter yang di-buatkan cabang membentuk huruf V pada salah satu ujungnya. Seorang petugas mengatakan, salah satu ujung cabang tongkat itu didekatkan ke hidung komodo untuk mengusir.
Keesokan harinya, kami meng-arah ke Loh Buaya, Pulau Rinca, tetap dalam balutan kemewahan Merry Makin. Mohon maaf berulangkali menyebut Merry karena saya begitu terkesan dengannya, dibanding ketinting atau perahu cepat yang sering membawa saya yang tak bisa berenang ini ke sejumlah tempat.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR