Inilah Freising, kota di wilayah Bavaria yang terletak tepat di luar kota Munich. Saya menyusuri jalanan batu kerikil di pinggir reruntuhan dinding biara untuk mencapai taman bir dekat Weihenstephan Abbey, salah satu tempat pembuatan bir tertua di Bumi. Di berbagai tempat, orang-orang duduk di bawah temaram sinar matahari, mengonsumsi bir. Tidak ada permainan tebak-tebakan, tidak ada kontes menenggak bir, apalagi menggebrak meja. Semua mensyukuri kehangatan sore di awal musim semi. Semua berkumpul untuk menikmati pesta yang tak lekang oleh waktu di tempat pembuatan bir yang dibangun oleh para biarawan Benedictine sekitar tahun 1040-an.
Bagi saya, pulang kampung berarti kembali ke masa lampau, kembali ke ritual makan setiap Minggu yang sudah menjadi tradisi sejak saya kecil: pengolahan bir, babi panggang, olahan daging, juga salad saus cuka dan minyak. Ayah saya, yang lahir di Hamburg, adalah seorang pencinta bir dan sangat menggemari rasa pahit tajamnya. Ia menikmatinya sepulang kerja, saat pesta makan malam sambil menyantap sosis, bermain lempar tapal kuda dan menyimak lagu Jerman. Saya, untuk sesaat, serasa kembali ke dunia bir—bukan bir produksi massal tetapi bir yang memiliki dan menyatu dengan sejarah setempat. Ziarah bir inilah alasan saya pulang kampung selama seminggu.
Terdapat lebih dari 600 tempat pembuatan bir di wilayah Bavaria, Jerman, dan sekitar seratus di Austria, salah satunya kemungkinan merupakan cikal-bakal dimulainya bierstrasse, semacam ziarah dari satu tempat pembuatan bir ke tempat pembuatan bir lainnya, dari satu kota ke kota berikutnya. Saya tidak punya gambaran pasti tempat-tempat yang akan saya datangi. Namun, perjalanan ini diawali dengan sempurna.
Bir Weihanstephan pesanan saya ternyata bir gandum khas wilayah Bavaria, keruh dan keemasan, bercita-rasa buah, dan menggugah selera. Setelah tegukan pertama, saya menjadi orang paling bahagia di tengah orang-orang yang berbahagia. Ternyata Freising dikaruniai anugerah ganda. Di seberang kota terdapat Hofbrauhaus Freising, pembuatan bir tertua lainnya. Di sana, saya bertemu pakar pembuat bir Martin Lehmann dengan karakter yang umum saya temui pada diri pembuat bir: senang berkelakar, gemar bir dan berbicara, suka bersosialisasi, dan cinta sejarah.
“Seratus tahun lalu, terdapat 20 tempat pembuatan bir di Freising,” ia memberitahu. “Kini hanya tersisa dua.” Hal ini menarik perhatian saya. Saya pernah membaca mengenai tempat-tempat pembuatan bir kecil yang tutup, digilas korporasi besar. Saat sebuah tempat pembuatan bir gulung tikar, rasanya seperti menutup sebuah restoran lokal yang populer di kalangan masyarakat setempat atau sebuah sekolah lokal. Sebuah kemenangan bagi apa yang dianggap sebagai kemajuan, skala ekonomi, pemasaran besar-besaran. Sekaligus sebuah kekalahan bagi tradisi, karakter lokal, dan pemikiran bahwa setiap tempat perlu memiliki keunikan dan berbeda dari tempat lainnya—dan perbedaan itu haruslah sesuatu yang dapat dirasakan.
“Sayang sekali,” Lehmann melanjutkan. “Bir adalah bagian dari budaya kami. Apa jadinya jika hanya ada satu bir untuk seluruh negeri ini.”
Lehmann menemani saya berkeliling tempat pembuatan bir miliknya, perjalanan kaki di jalur penuh kelokan yang melebar dan menyempit, berpindah dari panas hutan hujan ke udara dingin lembab, dari denting di ruang pembotolan ke kesunyian di ruang penyimpanan. Perjalanan keliling berakhir di sebuah ruang dari panel kayu berwarna gelap di mana sang pakar pembuat bir telah menyiapkan empat botol di hadapan saya yang semuanya bersuhu ruangan. Aturan dalam uji cicip bir adalah menjaga agar rasa dan aroma tidak hilang akibat pendinginan berlebihan. Cicipi lebih dulu yang berwarna terang sebelum yang gelap, yang lembut sebelum yang kuat.
Kami menenggaknya hingga tandas, mengenali penampilannya, aromanya, rasa awal saat dikonsumsi dan rasa yang tersisa setelahnya. Mustahil saya dapat merasakan bir-bir ini di Amerika Serikat. Tempat pembuatan bir ini sudah berdiri sejak lama, mulai dari melayani untuk konsumsi pribadi hingga masyarakat setempat, dan seperti tempat pembuatan bir lainnya dalam daftar tur saya, distribusinya masih sangat terbatas.
“Apakah Anda menyukai pekerjaan Anda?” saya bertanya kepada Lehmann.
“Tentu saja,” ia menukas cepat. “Anda juga pasti akan menyukainya.”
Setelah Freising, ziarah bir ini membawa saya ke pedesaan dengan suasana laksana syair pujian; bau rumput yang terpapar sinar matahari, bunga lilac ungu dan putih, pohon pinus; kemudian tibalah saya di sebuah desa tak bernama, di mana payung-payung bermekaran di kafe-kafe tepi jalan, aroma roti segar menyeruak dari toko-toko roti. Sosis dan daging ham menggiring saya masuk ke toko daging. Tanda bir yang terpampang di luar kedai menjadi bukti loyalitas kepada bir produksi setempat, dan di Muhldorf, satu jam dari Freising, bir produksi setempat adalah Unertl. Muhldorf dianak-tirikan di banyak buku panduan wisata: Tidak memiliki danau, kastil, pegunungan. Namun kota ini memiliki Wolfgang Alois Unertl, yang berdiri menunggu saya di luar tempat pembuatan bir kecilnya yang berjarak 30,4 km dari kota.
Pembuat bir gandum yang berbicara dengan sangat cepat ini merupakan pembuat bir generasi ke-empat yang menjadikan bir sebagai misi dalam hidupnya. Unertl menjelaskan bagaimana air menyegarkan dan membangkitkan energi, bagaimana ragi “memberikan informasi,” bagaimana bir yang tidak disaring dan dipasteurisasi, “tumbuh di dalam botol seperti sampanye.”
Ia mengajak saya ke loteng di lantai atas, di mana saya melihat setumpuk jelai gandum di lantai tanpa dilengkapi ban berjalan dan lift. Unertl menyukai gagasan menggotong sendiri karung-karung ke atas untuk menciptakan ikatan fisik antara pembuat dan apa yang dibuat.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR