Sejak diterjang tsunami akhir 2004 lalu, nama Aceh kian santer terdengar. Provinsi yang dikenal dengan julukan Negeri Serambi Mekah itu makin ditilik keberadaannya, baik dari segi budaya, masyarakat, tak terkecuali cita rasa makanan.
Ya, makanan memang menjadi salah satu cara ampuh untuk memperkenalkan budaya. Melalui kelezatan makanan, terbawalah nama Aceh menyusuri Sumatra hingga ke pulau seberang.
Di Jakarta, rumah makan khas Aceh mulai banyak bermunculan. Baik yang berkonsep warungan maupun restoran, seperti yang ada di Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Pusat. Di kawasan ini sebenarnya terdapat tiga rumah makan Aceh yang terletak berdekatan.
Dua rumah makan berlabel sama yakni Meutia, sedangkan satu rumah makan lagi bernama Seulawah. Tergoda dengan makanan Aceh yang konon kaya rempah tersebut saya pun menyempatkan datang ke salah satu rumah makan.
Lokasi tak jauh dari jalan masuk kawasan Benhil melalui jalan Sudirman, membuat saya memilih mendatangi RM Meutia. Lokasi rumah makan ini tepatnya, berada persis di seberang pasar Benhil.
Berada di dalam rumah makan seperti sedang melawat ke rumah orang Aceh. Lukisan kuno menggambarkan beberapa wilayah di Aceh menjadi ornamen dinding. Suasana Aceh dihidupkan juga lewat hiasan lampu minyak menggantung pada atap tinggi rumah makan.
Namun yang menjadi ciri utama Aceh adalah makanannya, terutama jenis-jenis nasi dan mi. Jika Anda baru pertama kali datang, pelayan akan merekomendasikan untuk menyantap mi. Masakan mi memang menjadi salah satu menu favorit rumah makan.
Mi dengan bentuk besar-besar disajikan digoreng atau berkuah. Selain itu, juga diberikan tiga pilihan tambahan seafood, udang, kepiting, atau cumi. Bisa saja jika ingin menyantap menu komplet dengan menggunakan ketiganya.
Saya pun memilih mencoba mi goreng dengan tambahan udang. Minya sangat kuat akan rempah baik aroma dan rasanya, potongan udang menyembul di sela-sela mi. Saat menyentuh lidah, tersirat rasa manis. Namun pada kunyahan berikutnya seperti ada rasa yang meletup meninggalkan rasa pedas.
Rasa pedas khas ini membuat saya makin semangat untuk menyendok mi. Satu porsi mi disajikan tak terlalu banyak, namun cukup memenuhi perut saat lapar.
Selain mi, coba juga kuliner kenamaan Tanah Rencong. Apalagi kalau bukan roti cane. Idealnya, roti cane disajikan dengan kuah kari kambing. Tetapi rumah makan menyediakan kuah kari ayam sebagai pengganti jika tamu tak menyukai kambing.
Rasa dasar roti cane yang disajikan adalah manis. Namun dengan tambahan beberapa bumbu yang disiram di atasnya, muncullah rasa sedikit asin dan gurih. Kuah kari yang mendampingi roti cane, membuat rasa semakin berwarna. Kuahnya tak terlalu kental dan sedikit pekat.
Kenikmatan mi dan roti cane khas Aceh begitu digandrungi tamu. Terbukti sejak saya berada di rumah makan ini, kursi-kursi yang tersedia selalu penuh. Tamu silih berganti datang. Bahkan beberapa tamu terlihat kesulitan memilih tempat untuk duduk. Padahal rumah makan sendiri memiliki dua lantai.
Salah satu tamu bernama Asti mengaku menyukai roti cane yang disajikan rumah makan. Ia pun tak ketinggalan untuk mencicip mi yang menjadi andalan.
"Mi nya enak. Biasanya kalau mi kan berasa ada rasa tepung, tapi yang ini enggak, ketutup sama bumbunya. Tapi memang makin lama makin pedas. Kalau roti aku emang suka roti-rotian, jadi aku suka sama canenya," ujarnya.
Menyoal harga, rumah makan Meutia mematok harga mulai dari Rp20.000 untuk menu mi. Sedangkan roti cane diberikan harga Rp15.000.
RM Meutia buka dari jam 08.00 sampai jam 22.00. Salah satu kiat jika ingin mencicip menu di rumah makan ini adalah jangan datang pada jam orang makan. Karena bisa-bisa Anda kalah saing dengan para pekerja kantoran yang berada di sekitar kawasan.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR