Tak mudah mengambil jalan tengah dalam situasi ini. Apalagi mendorong suami agar segera bangkit, mencari pekerjaan baru atau mengusahakan bisnis sendiri. Berhasil atau tidaknya usaha itu, tergantung pada mental dan kepribadian suami. Jangan berharap, sekali berusaha langsung berhasil. Pengusaha besar dan terkenal pun mengalami jatuh bangun berkali-kali. Untuk itu, sesuaikan usaha dengan kemampuan.
Bila memang baru mampu berkecimpung di bisnis kecil atau kolam kecil, mengapa harus memaksakan diri berbisnis besar dan terjun ke kolam besar? Yang penting, "Jangan tenggelam, sehingga tak bisa melihat peluang. Ingat 'kan, kita menikah untuk hidup dengan hal-hal yang baik. Hidup lebih baik. Buat analisis SWOT (Strenght-Weakness-Opportunity-Threat) untuk mencari jalan keluar. Arahkan ke hal-hal positif."
Sikap lain yang bisa ditempuh istri, mencoba bertahan dan berkorban dengan menggantikan peran suami sebagai pencari nafkah utama. Berat memang menjalankan peran seperti itu, di tengah kentalnya budaya patriarki di negeri ini. Si perempuan bisa terjebak pada tuntutan nilai untuk bertahan, dalam situasi yang tak baik dalam perkawinan. Tak diberi nafkah adalah bentuk kekerasan emosional dan ekonomi.
Namun, kalau istri memang bisa mencari nafkah, kenapa tidak mau menggantikan peran suami? "Kuncinya, bagaimana penerimaan kita," Winarini mengingatkan. Istri yang memutuskan bertahan juga harus dapat menerima kenyataan dengan lapang dada. Agar anak tak lebih ikut menderita atas masalah orangtuanya, sang ibu harus memberikan pengertian secara bijaksana.
"Katakan, kita harus melihat ini sebagai keadaan sementara. Doakan saja bapak sadar. Kita harus bersyukur masih diberi kesehatan, dan ibu masih diberi kekuatan untuk bekerja," kata Winarini mencontohkan sambil menekankan, tonjolkan sisi positifnya. "Barangkali bapak belum sempat dan lain-lain. Jangan tonjolkan sisi negatifnya dengan mengeluh, marah, dan melihat ini sebagai hukuman dari Tuhan."
Kalau merasa tak kuat untuk bertahan, bisa mencari pilihan lain, berpisah. Tapi, "Kita tak pernah mendorong untuk bercerai, karena ini keputusan yang tak kalah berat risikonya. Itu adalah jalan terakhir bila masalah memang sudah tak bisa lagi diatasi dan disepakati," tegas Astuti Liestianingrum dari LBH APIK. Bercerai terpaksa dilakukan, bila juga sudah terjadi kekerasan, baik pada istri maupun anak. Bercerai, menyandang status janda, dan "memaksa" anak hidup terpisah dari ayah atau ibunya merupakan hal yang amat berat.
Wanita yang memutuskan bercerai biasanya yang berumur relatif muda, berusia 30-an tahun karena masih merasa berpeluang besar mengubah keadaan menjadi lebih baik. Bercerai akan lebih mudah bila si wanita punya self esteem (harga diri) tinggi, berpenghasilan sendiri dengan jumlah anak sedikit dan masih kecil. Bila anak sudah remaja lebih sulit, karena mereka sedang peka-pekanya. Usia remaja adalah masa ketika mereka belajar berhubungan dengan lawan jenis.
*Artikel ini pernah diterbitkan dalam Majalah INTISARI.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR