Aktivitas vulkanik Gunung Kelud di Jawa Timur, Sabtu (15/2), terpantau kian menurun meskipun belum stabil. Warga diminta mewaspadai potensi banjir lahar hujan dan abu vulkanik yang diguyur hujan. Hingga kemarin, empat orang meninggal karena sesak napas.
"Aktivitas vulkanik tak sebesar dua hari terakhir. Namun, statusnya masih Awas dan tetap diberlakukan zona larangan 10 kilometer dari puncak," ujar Kepala Pusat Badan Geologi Kementerian ESDM Surono, di Kediri, Sabtu.
Perhitungan itu berdasarkan beberapa indikator. Pemantauan pada pukul 06.00-12.00 terlihat asap putih keabuan setinggi 500-1.000 meter. Sehari sebelumnya mencapai 17.000 meter. Tingkat kegempaan pun menurun. Jika sebelumnya tremor menerus dengan amplitudo maksimum 10-15 milimeter, saat ini hanya 6 mm.
Meski aktivitas vulkanik menurun, Surono berharap masyarakat mewaspadai banjir lahar hujan (bukan lahar dingin). "Hindari sungai saat hujan deras. Banyak material letusan terendap," ujarnya. Kelud diperkirakan sudah memuntahkan 125 juta meter kubik material vulkanik. Sebagian besar tertampung di sungai di sekitar Kelud, seperti Sungai Badak dan Sungai Kuning.
Potensi lahar hujan makin besar di sekitar Kelud karena selain abu vulkanik juga ada tumbukan material padat berbagai ukuran, termasuk bongkahan batu besar. Abu bisa jadi penggelincir yang baik sehingga bongkah-bongkah batu besar itu mengalir ke tempat- tempat lebih rendah. "Masyarakat di bantaran sungai harus hati-hati," kata Surono.
Potensi lahar hujan bisa terjadi di semua daerah yang kini tertimpa abu vulkanik. Ketebalan abu pada radius 10 km mencapai puluhan sentimeter. Di kawasan Plosoklaten, Sugihwaras, Kediri —radius 8 km dari puncak Kelud —misalnya, abu vulkanik tebal bercampur kerikil. Kondisi serupa menyebar hingga Ngantang, Kabupaten Malang.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Hendrasto mengatakan, selain banjir lahar hujan, potensi awan panas juga ada. Namun, berdasarkan pengalaman, awan panas hanya akan mencapai jarak maksimal 10 km dari kawah saat terjadi letusan besar.
Bersihkan abu
Abu vulkanik letusan Kelud harus segera dibersihkan untuk mengurangi risiko. "Pukul empat pagi setelah letusan, sebagian masyarakat mulai membersihkan abu vulkanik di rumah," kata Sutrisno, Direktur Perkumpulan Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan Indonesia (Kappala), LSM pengurangan risiko bencana di Gunung Kelud.
Masyarakat sekitar terbiasa membersihkan abu vulkanik di atap rumah menggunakan tempurung kelapa yang dihubungkan dengan galah panjang. Karena tempurung kelapa sulit didapat, masyarakat mengganti dengan kaleng bekas. Namun, abu dibiarkan menumpuk di tanah.
"Abu di atap rumah harus segera dibersihkan sebelum hujan turun," kata Surono. Abu yang terkena air akan mengeras, mirip campuran semen dan air. Itu membuat ambruk atap dan merobohkan dinding rumah yang tidak didesain menyangga beban terlalu berat.
Di Kabupaten Malang, empat orang meninggal karena sesak napas dan tertimpa tembok yang tak kuat menahan abu vulkanik. Keempatnya warga Desa Pandansari, Ngantang, 8 km dari puncak Kelud.
Di sana ketebalan abu vulkanik bercampur pasir lebih dari 10 cm. Kondisi desa seperti kampung mati. Sejumlah rumah roboh, termasuk bangunan sekolah. Warga yang bertahan akhirnya bersedia dievakuasi kemarin.
Pembersihan juga perlu pada atap fasilitas umum, seperti sekolah, tempat ibadah, fasilitas kesehatan, dan perkantoran. Pembersihan fasilitas umum itu dapat dilakukan TNI dan Polri.
Kemarin, abu tebal yang melumpuhkan jalur Malang-Kediri mulai bisa ditembus kendaraan bermotor. Sebelumnya, jalanan itu licin dan sangat berdebu. Abu dibersihkan aparat TNI secara manual dan dengan alat berat.
Di Surabaya, Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur Ahmad Sukardi mengatakan, pihaknya sudah mengirim motor grader, traktor dengan lempeng besi di bagian tengah untuk meratakan tanah. Tiga grader untuk Malang dan lima grader untuk Kediri.
Selain motor grader, disediakan traktor loader (pengeruk abu ke bak truk pengangkut) dan dump truck. Kediri dan Malang menjadi daerah prioritas.
Cegah masalah lain
Direktur Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional "Veteran", Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan, pembersihan abu vulkanik jangan asal-asalan. Tumpukan abu vulkanik di pinggir jalan dan banyak tempat harus ditangani pemerintah. Tanpa manajemen baik, pembersihan itu justru menimbulkan masalah lain.
Abu tebal di sejumlah tempat dibersihkan dengan sekop lalu diangkut kendaraan dan ditampung di tempat lain. Abu beterbangan dan berisiko mengganggu kesehatan.
Di daerah lain dengan abu tipis, pembersihan dengan disemprot air. Akibatnya, gorong- gorong mampat dan memicu sedimentasi sungai.
"Abu vulkanik harus dikelola baik, bisa untuk bahan bangunan, campuran beton, bahan uruk, dan media tanam. Kandungan haranya tinggi," katanya.
Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, yang juga dokter spesialis paru, Tjandra Yoga Aditama, abu vulkanik memicu gangguan pernapasan. Dampaknya lebih serius dibandingkan debu biasa karena abu vulkanik mengandung senyawa logam dan semilogam: silika, natrium, kalium, dan kalsium.
Abu vulkanik menimbulkan iritasi mata. Mata terasa pedih, merah, dan berair. Pengguna lensa kontak diminta melepasnya untuk menghindari penumpukan abu di bawah lensa. Abu vulkanik juga menimbulkan gangguan saluran cerna dan memicu diare. Pada kondisi panas dan berangin, abu mudah tersebar, menempel pada makanan.
Bagi petani, abu vulkanik, pasir, dan kerikil merusak tanaman sayur, seperti di Kecamatan Wates dan Ngancar, Kediri. Di Desa Sugihwaras, nanas, cabai, dan tomat rusak.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR