Demokrasi pasca reformasi di Indonesia membuka lebar kesempatan bagi etnis Tionghoa untuk berpolitik. Menjadi ajang pembuktian walau banyak juga yang gagal.
Tahun ini adalah pengalaman pertama Yandi, 34, duduk sebagai anggota DPRD di Pontianak, Kalimantan Barat, setelah maju sebagai calon legislatif dalam pemilu 2014.
Yandi, anak keempat dari empat bersaudara, ini memang bertekad untuk berkarir di dunia politik sejak sepuluh tahun lalu.
Dia pun pernah berganti-ganti partai dari Partai Republikan, Golkar, dan yang terakhir Gerindra.
Pilihan berkarir di dunia politik diakuinya bukanlah pilihan yang umum bagi pemuda Tionghoa di Pontianak. Keluarga dan tiga saudaranya yang sibuk berbisnis pernah menentang keputusan yang 'di luar kebiasaan' itu.
Namun dia sudah membulatkan niat: "Karena saya ingin menyumbang gagasan dan pemikiran. Jika hanya disampaikan ke pemerintah, implementasinya belum tentu jalan. Karena itu lebih baik terjun langsung."
Ambisi Yandy cukup tinggi: menjadi presiden pada 2030 mendatang adalah cita-cita jangka panjangnya.
Ikut berpesta
Dia tak sendiri, calon-calon politisi dari etnis Tionghoa dalam pemilu kali ini sudah banyak bermunculan baik di tingkat daerah hingga nasional.
Pesta demokrasi menjadi kemewahan yang akhirnya dirasakan warga keturunan Tionghoa yang berpuluh-puluh tahun dikekang aktivitas politiknya.
Taipan media Hary Tanoesoedibyo misalnya dalam pemilu kali ini tak ragu untuk terjun ke politik praktis dengan mendeklarasikan dirinya sebagai calon wakil presiden keturunan Tionghoa pertama lewat Partai Hanura.
Hary lalu 'membelot' mendukung Prabowo, setelah Hanura menyatakan dukungan ke Joko Widodo.
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR