Pembangunan tanggul laut raksasa dari Bekasi hingga Tangerang tak hanya akan menggusur belasan ribu warga nelayan. (Data dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau Kiara, sedikitnya 16.855 nelayan akan tergusur.)
Megaproyek itu dipastikan mengancam ekosistem mangrove dan mengubah habitat alami burung-burung migran yang rutin singgah ke hutan terakhir di utara Jakarta itu.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Pekerjaan Umum, inisiator proyek itu, diminta membuka detail rancangan pembangunan. (Baca di sini)
"Apalagi, ekosistem mangrove berada di kawasan konservasi Suaka Marga Satwa Muara Angke yang dilindungi undang-undang. Kami memberi syarat harus tetap ada sirkulasi laut. Kalau tidak, kami tidak setuju [pembangunan tanggul]," kata Sonny Partono, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Sabtu (11/10), di Jakarta.
Hingga kini, Sonny belum mengetahui proyek itu apakah telah dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan atau dokumen lingkungan.
Ia juga mengatakan, di utara Jakarta terdapat Suaka Margasatwa (SM) Muara Angke seluas 25 hektare. SM Muara Angke adalah benteng terakhir penyangga kehidupan alami Jakarta. Organisasi pelestarian burung dunia, Birdlife International, mengategorikan Muara Angke daerah penting bagi burung.
Menurut Sonny, ia belum pernah dimintai masukan atas proyek senilai Rp 500 triliun yang dimulai tahun ini. Ia menegaskan, SM Muara Angke harus dipertahankan dan dilestarikan.
"Belum pernah ada [pengajuan perubahan peruntukan/fungsi hutan] dan kami tidak akan setuju. SM Muara Angke itu satu-satunya daerah [hutan konservasi] di ibu kota negara. Luasnya tinggal sedikit. Kalau mau diubah dan dikurangi lagi, maaf saja. Tidak setuju," katanya.
Pakar mangrove Institut Pertanian Bogor yang aktif di Lembaga Riset Kehutanan Internasional (CIFOR), Daniel Murdiyarso, memastikan dampak penanggulan akan sangat besar dari sisi komposisi jenis dan keberadaan mangrove secara umum.
"Jangankan tanggul raksasa, pematang tambak udang atau ikan yang tidak memperhatikan hidrologi dan keutuhan substrat [lumpur] sudah cukup untuk mematikan mangrove dalam skala besar," ungkapnya.
Oleh karena itu, tuturnya, banyak proyek restorasi dan upacara penanaman mangrove sering gagal. Itu karena tidak memperhatikan dua hal tersebut (hidrologi dan lumpur).
Keunikan ekosistem mangrove ditandai keberadaan air payau berkadar garam tertentu dan proses pasang-surut yang diadaptasi formasi mangrove. Penanggulan memisahkan ekosistem mangrove dari laut. "Ekosistem mangrove mungkin berubah, bahkan punah," katanya.
Ia tidak pernah mendengar presentasi tanggul laut raksasa secara formal ataupun nonformal.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Bernardus Djonoputro mengkritik model pembangunan itu. "Menggantungkan pembangunan infrastruktur dasar kepada swasta merupakan cara berpikir keliru. Logikanya, swasta mau masuk pasti kalau menguntungkan bisnis mereka," tuturnya.
Dengan cara pikir swasta, tidak mengherankan jika proyek cenderung meminggirkan kepentingan masyarakat.
"Itu berpotensi memicu kesenjangan luar biasa besar antara penduduk asli Jakarta dan pelaku ekonomi baru yang akan muncul di pulau-pulau reklamasi ini. Apakah itu sudah dikaji dampaknya?" kata Djonoputro.
Menurut ahli oseanografi yang juga mantan Kepala Program Studi Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB) Muslim Muin, tanggul laut raksasa bukan jawaban masalah Jakarta. Sebaliknya, berpotensi membawa banyak masalah baru. Jika alasannya mengatasi banjir rob, yang dibutuhkan tanggul pesisir.!break!
Wacana pembangunan tanggul laut raksasa Jakarta dan reklamasi dalam bentuk pulau-pulau muncul pada era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, dengan usulan datang dari konsultan Belanda. Awalnya disebut Sea Dike Plan Tahap III dan akan dibangun tahun 2020-2030.
Proyek itu lalu dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI untuk 2010-2030. Disebutkan, untuk mengatasi pasang naik air laut yang semakin tinggi karena pemanasan global, akan dibangun pulau-pulau dengan cara reklamasi.
Pulau itu akan dilengkapi tanggul laut raksasa. Belakangan, proyek yang kini disebut "Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara" juga dimaksudkan untuk menyediakan sumber air bersih.
Asumsinya, tanggul akan terisi air tawar dari 13 sungai yang bermuara di dalamnya. Dengan penyediaan air baku, diharapkan penyedotan air tanah pemicu penurunan daratan hingga 10 cm per tahun dapat dihentikan.
Dengan alasan itu pula, pada Juni 2013, pemerintah pusat bersama Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten bersepakat mempercepat proyek itu.
"Untuk giant sea wall, dari jadwal awalnya tahun 2020, akan ground breaking tahun 2014," demikian kata mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang dikutip di Jakarta, pada Kamis (7/3). Percepatan dilakukan karena mendesaknya kebutuhan fasilitas itu, yaitu dipicu penurunan permukaan tanah di pesisir DKI yang akan mencapai 4 meter tahun 2020.
Namun, menurut Muslim Muin, percepatan itu lebih karena besarnya minat swasta. Tak hanya menjadi infrastruktur pengendali banjir, proyek itu memang disiapkan menghasilkan lahan reklamasi hingga 4.000 hektar. Gubernur DKI Joko Widodo, yang juga presiden terpilih, mengakui besarnya minat pihak swasta.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR