Dalam perkembangannya, pembayaran uang diganti sampah limbah rumah tangga. Hal ini mendapat sambutan positif dari para orangtua siswa. Para orangtua yang kurang mampu bisa membawa sampah sisa rumah tangga, seperti plastik bekas air mineral, kardus, dupleks, hingga kemasan deterjen dan pembersih lantai yang diserahkan tiap pekan atau sebulan sekali. (Baca juga, Klinik Asuransi Sampah)
Sampah yang terkumpul lalu dipilah, ditimbang, dan diuangkan oleh anggota dan pengurus bank sampah. Uang yang terkumpul menjadi tabungan siswa dan dipakai untuk membayar iuran.
Adapun sisanya menjadi tabungan dan biasanya diambil menjelang Lebaran. Menurut Endang, tidak semua sampah yang diserahkan wali siswa dijual. Sampah yang kondisinya masih bagus akan didaur ulang menjadi barang bermanfaat, seperti tas, sandal, topi, keranjang, bunga hias, dan nampan.
Setiap minggu pengurus dan anggota bank sampah yang berjumlah 135 orang dan orangtua siswa berkumpul membuat kerajinan tangan bersama-sama. Hasilnya dijual.
Kini, sekolah Hijau Daun mulai banyak diminati masyarakat, termasuk kalangan ekonomi menengah. Perbandingan siswa dari kalangan ekonomi kurang mampu dan menengah saat ini 50:50. "Siswa yang berasal dari ekonomi menengah kami kenakan biaya lebih besar. Ini subsidi silang," tutur Endang yang juga seorang herbalis itu.
Perlahan tetapi pasti Hijau Daun dan semangat yang ada di sekolah itu telah memberi manfaat bagi orang di sekelilingnya. Saat ini Hijau Daun pun bukan sekadar menjadi tempat menuntut ilmu bagi anak usia dini, melainkan juga bermanfaat untuk kepentingan lain, seperti tempat observasi oleh mahasiswa dan anggota PKK di wilayah Kediri yang ingin belajar lingkungan dan tanaman berkhasiat yang ada di dalamnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR