Undakan tangga dari tepi jalan berbelok ke kanan. Sebuah patung telapak tangan terlentang. Patung itu tampak kontras diantara bebatuan kapur di sekelilingnya. Seolah tempat itu memang tersedia bagi peminat wisata religi, patung itu tampak sedang berzikir.
Mulanya saya enggan masuk ke dalam gua, cukup memandang dari luar saja. Tapi penjaga gua dengan ramah menyilahkan saya mampir.
"Silahkan masuk, puteri sedang tak menangis sekarang. Tapi anda akan tahu sejarahnya," sapa Abdullah si penjaga gua.
Dia mengisahkan legenda puteri menangis itu tak lama kemudian.
!break!"Mulanya, orang tua sang Puteri keberatan jika si puteri menikah dengan seorang pangeran dari tempat lain. Keberatan ini hanya dilandasi rasa sayang kepada puteri, karena begitu puteri menikah maka dia harus tinggal bersama suaminya yang jauh. Munenesa, menurut istilah orang Gayo. Tapi dengan alasan cinta dan kegigihan si puteri, akhirnya kedua orang tuanya menyetujui," cerita Abdullah.
Pernikahan itu, lanjutnya, merupakan penyerahan tanggung jawab orag tua kepada suami sang puteri. Oleh karenanya, orang tuanya berpesan agar dalam perjalanan menuju tempat suaminya, puteri dilarang menoleh ke belakang.
"Ini petuah orang tua, tak boleh dilanggar," imbuhnya.
Tapi dalam perjalanan, petuah itu dilanggar. Sang puteri menoleh ke belakang, bersamaan dengan hujan badai sehingga iring-iringan pengantar harus bereduh di dalam gua. Gua pukes, lanjut Abdullah, merupakan tempat dimana rombongan ini beristirahat.
"Tapi karena sudah melanggar petuah, puteri berubah wujud menjadi batu," kata Abdullah kemudian.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR