Di dalam gua, stalakmit dan stalaktit gua yang sudah menyatu membentuk pilar. Pilar itu, di beberapa bagian mirip sekali dengan wujud manusia. Dari atap gua, air mengalir merembes pada dinding batu kapur. Inilah yang dipercaya sebagai Puteri Pukes, si puteri yang menangis.
Saya mengamati bagian-bagian pilar itu dengan seksama ketika serombongan wisatawan turut masuk dan berfoto selfie. Seseorang dari rombongan itu menceritakan hal yang sama seperti yang sudah diceritakan Abdullah sebelumnya.
Pikiran saya malah melayang pada setumpuk batu yang juga sudah dipugar di pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat. Legenda malin kundang si anak durhaka menggelantung di langit-langit pikiran saya.
Tapi Puteri Pukes berbeda, dia hanya melanggar petuah sederhana, bukan durhaka seperti si Malin. Sekonyong pikiran itu kemudian pupus lantaran dibagian lain saya melihat sebongkah batu yang dipercaya sebagai peninggalan rombongan Puteri Pukes. Sebuah batu yang mirip dengan lesung, tatakan penumbuk padi.
Beberapa bagian gua sudah diremajakan dengan campuran semen dan pasir sehingga merubah keasliannya. Sebuah stalakmit yang mencuat dari dasar gua kini berubah bentuk seolah-olah seperti seseorang yang tengah bersemedi.
Sebah sumur besar membentuk lingkaran juga mengalami nasib yang sama, pinggirannya sudah diremajakan dengan campuran bahan bagunan. Sumur itu dipercaya sebagai tempat penampungan air mata sang puteri.
!break!Sesaat saya tersentak sadar dari lubuk lamunan mengenai bahan bangunan yang bercampur dengan keaslian gua itu. Mungkin memang ini yang dicari banyak orang, tapi bukan saya.
"Hujan lebat terus saja turun ditambah isak tangis dan air mata sang puteri yang rindu pada kedua orang tuanya. Air mengalir terus menerus hingga memenuhi sebagian besar daratan. Dari sinilah Danau Lut Tawar terbentuk," papar Imran ketika saya sudah kembali bersamanya untuk menikmati kopi malam kami.
Legenda ini, kata Imran, memang banyak yang tidak masuk akal. Tapi yang namanya legenda, tentu akan terus dituturkan. Demikian pula versinya tentu juga beragam.
"Kedua orang tua sang puteri, walaupun tak setuju tapi harus merelakan anaknya. Sehingga ibunda sang puteri melarang anaknya melihat ke belakang, karena masa depan bukan berjalan surut," ujar Imran.
Puteri Pukes, menurut cerita rakyat Gayo berasal dari nama Inen Manyak Pukes. Seorang puteri yang penuh keceriaan di masa kecilnya. Kasih sayang kedua orang tua yag berlimpah membuat dirinya tumbuh menjadi puteri kebanggan. Sepanjang hidupnya, sang puteri dikenal dengan kesantunan dan pengabdiannya kepada orang tua.
Versi lain dari legenda ini, lanjut Imran, adalah kutukan sang ibu lantaran Puteri Pukes sudah melakukan kekerasan pada ibundanya sendiri. Dia melampiasakan kekesalan pada sang ibu lantaran suaminya tak kunjung pulang dari medan perang. Ibudanya telah ditendang ketika sedang menunaikan shalat. Saat itulah kutukan terjadi, sang puteri menangis dan berubah menjadi batu.
Tapi apapun versinya, legenda merupakan cerita yang selalu dikisahkan agar manusia memetik pembelajaran. Puteri Pukes mungkin saja pernah ada, tapi bukan puteri yang berasal dari stalaktit pebukitan karst yang berkapur. Dia tentunya juga bukan puteri yang air matanya menggenangi lembah alam dataran tinggi Gayo yang sejuk.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR