Enam bangkai kapal karam bekas Perang Dunia II di perairan Indonesia hilang dicuri penjarah logam tua. Di kawasan tersebut, terdapat tiga kapal perang Belanda dan dua milik Inggris yang karam oleh tentara Jepang setelah Pertempuran Laut Jawa pada Februari 1942. Selain itu, ada pula bangkai kapal selam Perch (SS-176) milik Amerika Serikat yang tenggelam di Laut Jawa pada Maret 1942 setelah rusak parah oleh serangan Jepang.
Skala kerusakan pada bangkai kapal bersejarah itu ditemukan awal bulan ini oleh sebuah tim internasional dari penyelam dan spesialis survei bawah air, yang disponsori oleh masyarakat memorial angkatan laut Belanda, Karel Doorman Fund. Yayasan ini berharap dapat mengambil video dalam rangka persiapan peringatan ke 75 tahun Pertempuran Laut Jawa tahun depan.
Bangkai kapal Belanda hampir utuh ketika mereka ditemukan kembali oleh penyelam amatir pada tahun 2002, tapi pada ekspedisi terbaru yang ditemukan hanya lubang-lubang di dasar laut yang dulunya merupakan tempat bangkai kapal berbaring.
"Ini sangat mengejutkan. Sebagai organisasi perwakilan dari next-of-kin (awak kapal), ini adalah pukulan besar bagi kami, karena kami menganggap kapal tersebut sebagai kuburan perang bawah laut dan mereka jelas tidak boleh dirusak," kata Jacques Brandt, presiden Karel Doorman Fund.
Tim survei melaporkan bahwa bangkai dua kapal perang Belanda yaitu HNLMS De Ruyter dan Java HNLMS, tampaknya telah hilang. Sementara sebagian besar bangkai kapal ketiga milik Belanda, HNLMS Kortenaer, juga hilang.
Mereka juga melaporkan bahwa dua bangkai kapal perang Inggris di area yang sama, yaitu HMS Exeter dan HMS Encounter, hampir seluruhnya menghilang, sementara kapal Amerika Serikat telah lenyap sepenuhnya.
Laporan dari Survei Laut Jawa tersebut kini telah dilimpahkan kepada Kementerian Pertahanan masing-masing negara yang bertugas melindungi bangkai kapal angkatan lautnya.
Menteri pertahanan Belanda membuat pernyataan untuk anggota DPR pekan lalu, mencatat kerusakan berdasar laporan yang diterima. Sementara itu, Kementerian Pertahanan Inggris juga mengeluarkan pernyataan sebagai tanggapan terhadap laporan ekspedisi, mengutuk tindak perusakan dan penodaan yang dilakukan terhadap bangkai kapal, serta menuding para penjarah logam ilegal sebagai pihak yang bersalah.
“Berdasarkan perjanjian internasional, kapal angkatan laut tetap menjadi milik pemerintah mereka setelah karam, dan mengganggu atau mengambil bagian-bagiannya tanpa izin resmi merupakan tindakan ilegal,” ujar arkeolog laut, Innes McCartney, peneliti tamu di Bournemouth University di Inggris.
Sayangnya, harga logam yang tinggi dan kurangnya penegakan hukum mengakibatkan banyak bangkai kapal perang yang karam, dicuri logam-logam tuanya oleh para penjarah logam, terutama di kawasan Asia dan Pasifik.
“Dari sudut pandang saya, kejadian ini benar-benar membuat frustasi. Sekarang kami tidak akan pernah bisa melakukan studi arkeologi tentang Pertempuran Laut Jawa—semuanya telah lenyap, hilang dari kita selamanya,” ujar McCartney.
McCartney mengatakan, pelacakan kapal penjarah logam sebenarnya bisa dilakukan dengan cara yang hampir sama dengan pelacakan kapal nelayan guna mencegah penangkapan ikan ilegal. Kapal-kapal yang tampak berlama-lama di kawasan yang diketahui sebagai daerah bangkai kapal karam, atau yang menunjukkan perilaku mencurigakan lainnya, dapat ditandai secara otomatis dan diperiksa ketika mereka mencapai pelabuhan.
McCartney juga mencatat bahwa semakin banyak negara telah sepakat untuk saling melindungi bangkai kapal di perairan mereka di bawah Konvensi UNESCO 2001 mengenai Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air.
Tapi, beberapa negara terkemuka, termasuk AS dan Inggris, belum meratifikasi konvensi tersebut, karena khawatir bahwa hal itu akan terlalu sulit atau mahal untuk ditegakkan.
McCartney kemudian mengatakan bahwa metode modern upaya perlindungan tersebut sebagian besar berupa peralatan elektronik, dan tidak perlu mengirimkan kapal perang secara fisik untuk melindungi bangkai kapal.
"Kerangka hukumnya ada, dan kerangka teknologi juga ada, tinggal bagaimana negara-negara dunia mendapatkan dan melakukannya," pungkasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR