Almina menambahkan bahwa kegiatan pengelolaan wilayah sasi yang mereka lakukan bukannya tanpa tantangan. Tantangan yang kini sedang Waifuna hadapi adalah terkait perubahan iklim.
"Beberapa tahun terakhir, ombak besar, angin kencang, dan hujan harus kami hadapi. Saat harus patroli di wilayah sasi, ada ombak dan angin kencang," kata Almina.
Baca Juga: Asal-Usul Penginjilan Kampung Mutus dan Kisah Orang Betew Rajaampat
Baca Juga: Menyingkap dan Memetakan Keunikan Gambar Cadas di Perairan Papua
Baca Juga: Tari Wutukala, Inovasi Berburu Ikan Ala Suku Moy di Papua Barat
Karena komitmen dan dedikasi terhadap kegiatan sasi yang merupakan tradisi pelestarian sumber daya alam bawah laut yang telah dilakukan masyarakat adat setempat secara turun-temurun, pada 2019 pemerintah kampung setempat memperluas areal sasi menjadi 215 hektare. Luas ini jauh bertambah besar dibanding luas 32 hektare pada waktu awal kelompok Waifuna dibentuk pada 2010.
Untuk mendukung hal ini, Kelompok Waifuna juga mendapat pendampingan tentang manajemen organisasi. Manajemen organisasi diterapkan dalam membagi kelompok ke dalam beberapa fungsi, yakni menyelam, memanen, mencatat hasil, serta mengelola keuangan.
Selaku mitra pembangunan Pemerintah Provinsi Papua Barat, YKAN mengatakan pihaknya menaruh perhatian besar pada integrasi adat dalam pengelolaan kawasan konservasi, termasuk di Area 4 Perairan Kepulauan Misool. "Konservasi di wilayah Bentang Laut Kepala Burung bisa lebih efektif bila didukung oleh sistem sosial budaya dan peran perempuan yang terwujud menjadi kebijakan lokal," tegas Direktur Program Kelautan YKAN Muhammad Ilman.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR