Nationalgeographic.co.id—Ancaman kerusakan iklim sudah ada di sekitar kita. Peristiwa-peristiwa cuaca ekstrem, mulai dari banjir, angin topan, hingga gelombang panas, frekuensinya meningkat dan akan terus meningkat seiring dengan meluasnya krisis iklim. Tetapi tidak semua komunitas terkena dampak yang sama.
Hasil sebuah studi yang telah terbit di jurnal The Lancet Planetary Health menunjukkan bahwa ketidakstabilan yang meningkat karena gangguan iklim kemungkinan akan meningkatkan episode kekerasan terhadap anak perempuan, perempuan heteroseksual, dan anggota komunitas LGBTQ+.
"Peristiwa ekstrem tidak dengan sendirinya menyebabkan kekerasan berbasis gender, tetapi justru memperburuk pemicu-pemicu kekerasan atau menciptakan lingkungan yang memungkinkan jenis perilaku ini," kata Kim van Daalen, seorang Gates Cambridge Scholar di Department of Public Health and Primary Care, University of Cambridge, yang menjadi penulis utama studi ini.
"Akar dari perilaku ini adalah struktur sosial dan patriarki yang sistematis yang memungkinkan dan menormalkan kekerasan semacam itu," ujar van Daalen seperti dilansir IFLScience.
"Peran dan norma sosial yang ada, dikombinasikan dengan ketidaksetaraan yang mengarah pada marginalisasi, diskriminasi, dan perampasan hak membuat perempuan, anak perempuan, dan minoritas seksual dan gender, secara tidak proporsional rentan terhadap dampak buruk dari peristiwa-peristiwa ekstrem," lanjutnya lagi.
Selama dua dekade terakhir, kejadian banjir meningkat 134 persen. Frekuensi badai meningkat 40 persen dan kekeringan 29 persen. Sejumlah studi tentang bencana di masa lalu, seperti setelah Badai Katrina pada tahun 2005, memberikan gambaran tentang jenis kekerasan yang mungkin dialami komunitas berisiko setelah bencana besar.
Sebuah studi tentang orang-orang yang terlantar secara internal di Mississippi setelah Badai Katrina, menunjukkan bahwa kekerasan fisik seksual dan pasangan intim terhadap perempuan meningkat setelah peristiwa badai tersebut. Komunitas LGBTQ+ juga menjadi sasaran kekerasan pascabencana.
Pertama, mereka disalahkan atas badai tersebut, kemudian pasangan sesama jenis dilarang mendapatkan dana bantuan dari Badan Manajemen Darurat Federal (Federal Emergency Management Agency). Orang-orang LGBTQI mengalami luka fisik dan kekerasan di tempat penampungan pascabencana, dan beberapa transgender bahkan diancam dan dilarang mengakses tempat-tempat yang diduga aman tersebut.
Baca Juga: Alarm Bahaya: Banyak Situs Arkeologi Mesir Rusak akibat Cuaca Ekstrem
Baca Juga: Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Naik di Tahun Kedua Pandemi
Baca Juga: Kilas Sejarah Perjuangan Perempuan dalam Merayakan Hari Ibu Bangsa
Studi kasus lain berfokus pada Bangladesh dan bagaimana peningkatan pernikahan dini berjalan seiring dengan banjir yang menghancurkan. Menikahkan anak perempuan dipandang sebagai cara untuk mengurangi "beban keuangan" keluarga.
"Penanganan bencana perlu fokus pada pencegahan, mitigasi, dan adaptasi terhadap pemicu-pemicu kekerasan berbasis gender. Sangat penting bahwa itu diinformasikan oleh wanita, anak perempuan, dan populasi minoritas seksual dan gender yang terkena dampak dan mempertimbangkan budaya seksual dan gender lokal dan norma, tradisi, dan sikap sosial lokal," tambah van Daalen.
Memberikan pelatihan kepada tim tanggap dan menciptakan tempat perlindungan yang merupakan ruang aman bagi orang-orang yang paling berisiko adalah dua kemungkinan intervensi untuk meminimalkan risiko ini. Upaya untuk menantang akar penyebab kekerasan ini sangat penting untuk menghentikannya terjadi sejak awal, dengan atau tanpa faktor tambahan dari kerusakan iklim.
Source | : | IFLScience.com |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR