Nationalgeographic.co.id - Di dunia hewan, mereka adalah mamalia yang kecil. Memiliki hasil reproduksi yang tinggi dan hidup di hutan Madagaskar. Selama musim hujan 5 bulan, keturunan lahir dan bantalan lemak dibuat untuk bertahan hidup di musim kemarau yang sejuk ketika makanan langka.
Namun apa yang terjadi ketika musim hujan menjadi lebih kering dan musim kemarau menjadi lebih panas? Bisakah lemur tikus beradaptasi dengan perubahan iklim berkat hasil reproduksinya yang tinggi?
Lemur tinggal di Madagaskar, dan tidak di tempat lain. Lemur adalah primata tertua yang masih hidup di dunia. Nenek moyang lemur kemungkinan mendarat di pulau Madagaskar sekitar 70 juta tahun lalu. Ada lebih dari 100 spesies lemur.
Para peneliti dunia hewan dari German Primate Center—Leibniz Institute for Primate Research, bersama tim dari University of Zurich, telah menganalisis data jangka panjang dari Madagaskar dan menemukan bahwa perubahan iklim membuat populasi lemur tikus tidak stabil dan meningkatkan risiko kepunahannya.
Faktanya bahwa perubahan iklim menyebabkan fluktuasi yang lebih besar dalam kepadatan populasi dan dengan demikian meningkatkan risiko kepunahan secara cepat, generalis ekologi merupakan sinyal peringatan yang mengkhawatirkan untuk potensi hilangnya keanekaragaman hayati di daerah tropis.
Temuan ini telah dipublikasikan di jurnal PNAS dengan judul “Destabilizing effect of climate change on the persistence of a short-lived primate” pada 27 Maret 2023.
Efek perubahan iklim sebagian besar telah dipelajari pada spesies besar berumur panjang dengan hasil reproduksi rendah. Mamalia kecil dengan tingkat reproduksi tinggi biasanya dapat beradaptasi dengan baik terhadap perubahan kondisi lingkungan, sehingga mereka sedikit dipelajari dalam konteks perubahan iklim.
Claudia Fichtel dan Peter Kappeler dari German Primate Center—Leibniz Institute for Primate Research (DPZ) telah meneliti lemur di Madagaskar selama bertahun-tahun dan dengan demikian membangun kumpulan data unik untuk mengisi kesenjangan pengetahuan ini.
Selama 26 tahun, dari tahun 1994 hingga 2020, Peter Kappeler dan Claudia Fichtel mempelajari struktur demografi populasi lemur tikus di stasiun penelitian DPZ di Madagaskar. Data iklim dari periode yang sama menunjukkan bahwa musim hujan di wilayah ini semakin kering dan musim kemarau semakin panas.
Mereka sekarang telah menganalisis data ini bersama rekan-rekannya dari University of Zurich dan menemukan peningkatan angka kematian dikombinasikan dengan peningkatan tingkat reproduksi.
"Tren yang berlawanan ini telah mencegah jatuhnya populasi lemur tikus, namun tetap menyebabkan destabilisasi populasi, karena siklus hidup hewan yang sudah cepat semakin dipercepat," kata Claudia Fichtel.
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Warsono |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR