Meskipun banyak keluarga tidak lagi mengaitkan perayaan itu dengan tradisi Katolik, kemungkinan ada penjelasan religius untuk makanan laut tersebut. Umat Kristen pertama menggunakan ikonografi ikan untuk menunjukkan tanda keanggotaan. Dalam satu kisah Alkitab , Yesus mendapatkan tangkapan ikan yang banyak dan menjanjikan pengikut yang berlimpah kepada para pengikut. Saat itu Yesus memerintahkan pengikutnya untuk menjadi “penjala manusia”. Hingga hari ini, Paus mengenakan “cincin nelayan”.
Tujuh juga merupakan angka suci: angka ini merupakan angka sakramen dan dosa berat. Dalam Alkitab, Yesus secara ajaib memberi makan sekelompok orang dengan tujuh roti dan ikan.
“Jika dikonsumsi dalam kelipatan tujuh, ikan menjadi simbol yang sangat mengakar untuk menguduskan dan menghidupkan kembali kelompok yang berlimpah. Juga menjanjikan kelimpahan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang,” ungkap Di Giovine
Tradisi selalu berkembang
Budaya Italia sangat regional, dengan komunitas kecil yang mengkhususkan diri pada makanan tertentu. Italia Utara dan Tengah tidak makan ikan pada Malam Natal. Gelombang imigran pada pergantian abad ke-19 berasal dari Selatan. Kelompok ini memiliki pengaruh Spanyol pada bahasa dan makanannya. Ikan, minyak zaitun, cuka, kacang-kacangan, tomat, dan makanan yang digoreng adalah makanan dari Italia Selatan. Makanan yang digoreng misalnya pizza fritta (pizza pocket) dan zeppoles (donat)
Pada tahun 1900-an, sentimen anti-Italia tinggi dan orang Italia dari berbagai daerah disatukan oleh orang luar daerah. Akhirnya, tradisi juga bercampur menjadi satu untuk menghasilkan citra makanan khas Italia yang “di-Amerika-kan”. Sama seperti pizza hingga cannoli, yang keduanya merupakan makanan khas daerah di Italia.
Setelah Perang Dunia II, orang Italia diterima sebagai anggota masyarakat Amerika. Mereka pindah ke pinggiran kota. Anak-anak mereka bersekolah bersama orang-orang dari latar belakang lain, dan TV dipopulerkan. Selera masyarakat pun menjadi homogen. Bahasa dan agama cepat hilang dalam situasi ini, kata Di Giovine. Dan makanan bisa menjadi cara untuk memisahkan diri dan Anda dapat “menggunakannya” kapan saja.
Penulis dan sutradara Robert Tinnell membuat komik pada tahun 2004 tentang pengalamannya dengan Perayaan Tujuh Ikan. Tumbuh besar di Virginia Barat Tengah Utara, ia mengingat nenek buyutnya yang menyelenggarakan perayaan tersebut. Setelah sang nenek meninggal, kakeknya dan laki-laki lain dalam keluarga mengambil alih. Kehidupan rumah tangga yang maskulin itu adalah sesuatu yang juga dilakukan oleh para imigran Italia pertama karena kebutuhan. Laki-laki datang ke Amerika terlebih dahulu, tanpa istri dan anak perempuan mereka.
Namun, pengetahuan tentang tempat berbelanja, kapan menyiapkan, cara memasak, sejarah di balik hidangan, dan tradisi keluarga menjadi tanggung jawab para ibu. Pengetahuan itu diwariskan kepada putri mereka, kata Di Giovine. Kaum wanita juga kemungkinan besar yang memiliki keputusan akhir dalam membuat perubahan pada resep. Seiring berjalannya waktu, keluarga sering mengubah menu agar lebih mudah, murah, berlimpah, dan lebih mengakomodasi pantangan makanan.
“Kami tidak kaya. Saya melakukan beberapa hal yang seharusnya ada di meja makannya,” kata Tinnell, merujuk pada nenek buyutnya. “Namun, istri saya senang mencoba hal-hal baru. Beberapa tahun lalu, kami mengambil tiram dan menaruhnya di luar di atas api terbuka; kami memanggangnya di dalam cangkangnya. Keluarga saya tidak pernah melakukan itu. Namun, saya tidak akan menukar waktu yang saya habiskan bersama ayah mertua, saudara laki-laki saya, dengan semua anak-ana. Hal itu merupakan adalah hal baru. Dan itulah yang penting di sini, kebersamaan dan pengalaman bersama itu.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR