Nationalgeographic.co.id—Setelah mengalami kekeringan yang berkepanjangan, wilayah California Selatan akhirnya menerima curah hujan yang sangat dinantikan baru-baru ini, sebuah peristiwa yang membawa sedikit kelegaan di tengah bencana kebakaran hutan dahsyat yang melanda Los Angeles.
Kebakaran hutan yang mengerikan ini tidak hanya menyebabkan lebih dari 150.000 jiwa kehilangan tempat tinggal mereka, tetapi juga mengakibatkan kehancuran atau kerusakan pada sekitar 15.000 bangunan di seluruh wilayah tersebut.
Meskipun tidak semua orang menunjukkan respons positif di saat-saat sulit ini, di tengah kehancuran yang meluas, muncul sebuah fenomena yang membangkitkan harapan—terutama di era yang penuh dengan gejolak sosial dan politik seperti sekarang ini—yaitu konvergensi komunitas.
Dalam situasi yang penuh tantangan ini, kita menyaksikan bagaimana para tetangga saling bahu membahu membantu dengan segala cara yang mereka bisa, bahkan melampaui batas untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya.
Kebaikan hati dan semangat altruisme yang lahir dari musibah ini telah menjadi berkah yang tak ternilai harganya bagi para petugas pemadam kebakaran dan sumber daya publik yang telah kelelahan dan kewalahan dalam menghadapi skala bencana ini.
Hal serupa terjadi di berbagai belahan dunia lain, termasuk di Indonesia. Kala sebuah bencana melanda. Maka, berbagai bantuan datang begitu saja untuk para korban bencana tersebut.
Namun, sebuah pertanyaan mendalam muncul dari peristiwa ini: mengapa tampaknya dibutuhkan sebuah bencana dahsyat untuk dapat menyatukan orang-orang sejak awal?
Perilaku sosial dan trauma
Penelitian dalam bidang psikologi telah mengungkap hubungan yang menarik antara pengalaman traumatis dengan perilaku sosial seseorang.
Dalam sebuah artikel penting yang diterbitkan di American Journal of Orthopsychiatry pada tahun 2008, sebuah fenomena unik tentang kebaikan manusia diangkat, yaitu kecenderungan untuk berbuat amal dan memberikan dukungan komunitas yang kemudian dikenal sebagai "altruisme yang lahir dari penderitaan".
Para peneliti mencatat bahwa studi tentang altruisme umumnya terfokus pada sisi positif yang mendorong perilaku menolong, sementara penelitian tentang dampak menjadi korban kekerasan atau penderitaan lebih sering menyoroti akibat negatif seperti agresi dan disfungsi sosial.
Baca Juga: Sindrom Kessler, Bencana Luar Angkasa yang Sudah Mulai Berlangsung
"Namun, bukti anekdotal, studi kasus, dan beberapa penelitian empiris menunjukkan bahwa viktimisasi dan penderitaan juga dapat mendorong orang untuk peduli dan membantu orang lain," tulis peneliti seperti dilansir laman Fast Company.
Salah satu penulis artikel tersebut, psikolog terkemuka Ervin Staub, seorang profesor emeritus di UMass Amherst, telah menjelaskan lebih lanjut temuan ini. Beliau menunjuk pada bukti nyata dari studi perilaku sosial masyarakat setelah peristiwa traumatis, seperti gempa bumi dan tsunami dahsyat di Samudra Hindia pada tahun 2004.
Dalam tulisannya di Psychology Today, Staub mengungkapkan temuan penelitian yang menarik.
Peserta penelitian yang melaporkan pernah mengalami pelecehan atau kekerasan dalam keluarga, menjadi korban kekerasan kelompok, atau terdampak bencana alam, ternyata menunjukkan tingkat empati yang lebih tinggi dan rasa tanggung jawab yang lebih besar untuk membantu korban tsunami Asia tahun 2004 beberapa bulan kemudian.
"Mereka juga lebih banyak menjadi sukarelawan untuk tujuan yang melibatkan bantuan kepada orang-orang," jelas Staub.
Mengapa kita saling menguatkan?
Dalam sebuah artikel di Fast Company, tiga ahli membahas lebih dalam mengenai respons psikologis kita terhadap trauma kolektif, bagaimana bencana mempererat identitas kelompok, dan bagaimana komunitas pulih setelah tragedi besar.
Penjelasan mereka membantu kita memahami dorongan kuat untuk berbuat baik dan berempati yang sering muncul setelah peristiwa dahsyat.
John Brekke, seorang profesor emeritus di USC School of Social Work dan juga warga Altadena yang rumahnya sendiri rusak parah akibat kebakaran hutan, memberikan perspektif yang menarik. Beliau menjelaskan bahwa komunitas seperti di Altadena, di mana orang memiliki ikatan yang kuat, memainkan peran penting dalam masa sulit.
"Tetapi ada juga jenis komunitas identitas lain ini, Anda tahu, seperti orang akan berkata, saya termasuk komunitas gay, atau saya termasuk komunitas di sekitar organisasi tertentu," jelas Brekke.
Menurut Brekke, bencana dapat menciptakan jenis komunitas unik. Orang-orang yang tiba-tiba berkumpul untuk membantu sesama korban bencana merasakan adanya ikatan dan identitas bersama. Mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dengan terlibat dalam "komunitas penolong" ini.
Baca Juga: Kala Selembar Sampah Sudah Dianggap Sebagai 'Bencana' Bagi Tempat Wisata
Partisipasi ini bisa beragam bentuknya, mulai dari menyumbangkan uang, meluangkan waktu untuk menjadi sukarelawan, hingga sekadar menerima dan mendukung orang lain yang membutuhkan.
"Tindakan memberi di tingkat masyarakat tampaknya sama bermaknanya dengan secara harfiah memberi kepada seseorang yang berada tepat di sebelah Anda yang membutuhkan bantuan," papar Brekke.
Lebih dari sekadar kepuasan spiritual, tindakan altruisme ini juga memiliki dasar neurobiologis, jelas Brekke. Berempati dan memberi kepada orang lain bukan hanya terasa baik secara batiniah, tetapi juga memicu respons positif dalam tubuh kita.
Ketika kita berempati dan memberi, otak kita melepaskan bahan kimia seperti serotonin dan oksitosin. Biokimiawi ini menghasilkan perasaan puas, sejahtera, dan terhubung dengan orang lain. Jadi, membantu sesama bukan hanya tindakan moral, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi kesehatan mental dan emosional kita.
Individualisme dan Identitas
Pertanyaan yang lebih kompleks muncul mengenai keberlangsungan empati dan niat baik setelah peristiwa traumatis kolektif seperti kebakaran hutan, dan ini sebagian berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat Amerika.
Menurut Jorja Leap, seorang profesor kesejahteraan sosial dan direktur eksekutif Kemitraan Penelitian Keadilan Sosial UCLA, "Masyarakat arus utama Amerika adalah tentang individualisme yang kuat."
Nilai ini ditanamkan sejak dini, di mana kekuatan dan kepribadian individu sangat dihargai, bahkan lebih dari konsep komunitas. Mulai dari penaklukan perbatasan hingga eksplorasi luar angkasa, atau ambisi politik, fokusnya selalu pada pencapaian individu.
Akibatnya, meskipun bencana seperti gempa bumi atau perang dapat memicu persatuan, sinisme mungkin muncul kemudian.
Leap mengilustrasikan hal ini dengan contoh konflik berkelanjutan terkait asuransi kebakaran dan pembangunan kembali rumah komunitas di Los Angeles.
Leap juga menambahkan, "Kita bisa menunjukkan altruisme dan respons yang kuat, namun kemudian beralih menjadi sinis. Terkadang, sinisme ini berfungsi sebagai mekanisme perlindungan diri. Saya percaya sinisme seringkali merupakan kamuflase dari rasa takut."
Alison Holman, seorang profesor di UC Irvine School of Nursing dan UCI's School of Psychological Science, juga seorang ahli dalam meneliti dampak trauma, baik individual maupun kolektif, termasuk kebakaran hutan di California Selatan.
Sejalan dengan Brekke dari USC, Holman meyakini bahwa identitas memainkan peran sentral dalam memicu empati dan altruisme saat krisis.
Holman menjelaskan, "Masyarakat arus utama Amerika adalah tentang individualisme yang kuat."
Penelitian yang dilakukannnya telah menunjukkan bahwa identifikasi dengan korban adalah pendorong utama perilaku pro-sosial. Ketika seseorang merasa 'Saya juga tinggal di daerah itu,' 'Saya juga kehilangan rumah,' atau 'Saya mengerti rasanya terancam,' rasa identifikasi ini dapat memotivasi mereka untuk membantu.
Fenomena identifikasi ini jelas terlihat di Los Angeles saat ini. Namun, pertanyaan yang lebih besar adalah apakah fenomena ini akan menghasilkan perubahan jangka panjang dalam diri individu dan peningkatan keterlibatan masyarakat pasca-kebakaran, terutama di era perubahan iklim yang diperkirakan akan meningkatkan frekuensi bencana.
KOMENTAR