Nationalgeographic.grid.id— Banyak masyarakat, mungkin juga warga Indonesia, merasakan keresahan yang mendalam terhadap politik di negara mereka. Mereka melihat adanya peningkatan pemutarbalikan fakta dan kebohongan yang dilakukan secara terang-terangan, terutama dalam beberapa dekade terakhir. Kondisi ini dianggap sebagai perkembangan yang sangat mengkhawatirkan.
Bill Adair, seorang tokoh yang sangat memahami isu ini, sepakat dengan pandangan tersebut. Sebagai pendiri PolitiFact, sebuah situs web pengecekan fakta yang telah meraih Hadiah Pulitzer atas kerja kerasnya, Adair menuangkan pemikirannya dalam buku terbarunya yang berjudul “Beyond the Big Lie: The Epidemic of Political Lying, Why Republicans Do It More, and How It Could Burn Down Our Democracy.”
Baru-baru ini, ia hadir di Berkman Klein Center for Internet and Society untuk berbagi pandangannya dalam sebuah acara diskusi. Dalam acara tersebut, Adair, yang juga merupakan Knight Professor of the Practice of Journalism and Public Policy di Duke University, mengungkapkan pengalamannya yang menarik.
Ia bercerita bahwa selama bertahun-tahun bergelut di dunia jurnalisme politik, seperti dilansir The Harvard Gazette, baik dirinya maupun rekan-rekannya tidak pernah secara langsung bertanya kepada seorang politisi mengenai alasan mereka berbohong.
Menurutnya, kebohongan dalam politik adalah fenomena yang ada di mana-mana, namun jarang sekali dibahas secara terbuka. Hal inilah yang mendorongnya untuk meneliti lebih dalam dan bahkan berani bertanya langsung kepada para politisi tentang praktik ini.
Setelah melakukan penelitian dan pelaporan selama beberapa tahun, Adair memfokuskan studinya pada sekitar enam kisah orang dalam yang ia jadikan studi kasus dalam bukunya. Kisah-kisah ini bertujuan untuk mengungkap apa yang ia sebut sebagai “kebenaran tentang kebohongan” dalam politik.
Ia mengungkapkan kekecewaannya bahwa upaya mengungkap fabrikasi dan misinformasi seringkali tidak mampu mengubah perilaku para aktor politik. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa kehadiran internet justru memperburuk situasi ini.
Adair menekankan bahwa kebohongan dalam politik bukanlah tindakan tanpa konsekuensi. Ia menyatakan bahwa ketika politisi memilih untuk berbohong, seringkali ada individu yang menderita akibatnya. Bahkan, tidak jarang orang-orang ini menderita dengan sangat parah, seperti rusaknya reputasi atau kehidupan yang jungkir balik.
Beberapa contoh kasus
Dalam acara di Berkman Klein Center, Adair menceritakan kisah Nina Jankowicz, seorang peneliti disinformasi dan penulis yang pada tahun 2022 ditunjuk untuk memimpin dewan penasihat di Departemen Keamanan Dalam Negeri. Dewan ini dibentuk dengan tujuan mulia untuk memerangi penyebaran informasi palsu secara daring.
Namun, sayangnya, Jankowicz harus mengundurkan diri akibat tekanan yang datang setelah lawan-lawan dewan tersebut menyebarkan teori konspirasi daring yang menuduh bahwa tujuan sebenarnya dewan tersebut adalah untuk menindak kebebasan berbicara.
Baca Juga: Awal Mula Julius Caesar Menjadi Diktator di Sejarah Romawi Kuno
KOMENTAR