Dilaporkannya semua pada Amangkurat III: "Nak,—panggil Arya Tiron pada kemenaknya, Amangkurat III—saya beri tahu, sekarang adinda paduka (Raden Ayu Lmebah) yang sedang berada di Kapugeran berselingkuh. Si Sukra pasangannya. Sudah kirim-kiriman surat."
Mendengar itu, Amangkurat III beranjak dari duduknya, mendidih kemarahan sampai ke ujung kepala. Amangkurat III bersiap memberangkatkan pasukan. Prajurit telah bersiaga hendak menyerang Kasindurejan membunuh Raden Sukra sekarang juga.
Namun para penasihat melarang, memintanya untuk bersurat terlebih dahulu pada bapak mertuanya, Pangeran Puger. Setelah surat dihantarkan dan dibacai, Pangeran Puger ikut naik darah dengan skandal perselingkuhan yang dilakukan anaknya sendiri.
DIpanggillah Raden Ayu Lembah menghadap ayahnya. Dalam simpuhnya, Pangeran Puger berusaha menata hatinya. Dilemparkannya tanya untuk mengetahui duduk perkara perselingkuhan yang sebenarnya.
Sambil menangis, Raden Ayu Lembah merasa tersudutkan. Tak berarti uraian air matanya yang jatuh, tak bisa menyelamatkannya dari semua yang menimpa diri. Surat Raden Sukra di kasur tidurnya telah diketahui Raden Antawirya yang segera melapor pada ayahnya.
Setelah membacai surat Raden Sukra, tak tertahankan lagi amarah yang meluap-luap dalam dada sedari tadi. Pangeran Puger merasa dipermalukan anaknya sendiri. Seolah dipermalukan di hadapan sang raja agung, Amangkurat III.
Raden Sukra yang diketahui akan mengobarkan pemberontakan, akhirnya ditangkap dan dieksekusi mati di depan mata Amangkurat III. Sedangkan, permaisurinya sendiri, Raden Ayu Lembah, diserahkan sepenuhnya pada ayah mertua, Pangeran Puger.
Di Kapugeran, Raden Sudira, adik dari Raden Ayu Lembah telah menyiapkan seikat selendang yang akan jadi saksi dari akhir hidup dewi jelita nun malang itu.
Langkah Raden Ayu Lembah berangkat perlahan mendekat pada ikat selendang yang akan menggantungnya.
Mulutnya berpesan beberapa saat, berpamit pada seluruh pengawal dan saudara bangsawan Kapugeran yang dengan berat hati menyaksikan hukum gantung Raden Ayu Lembah.
Ia melangkah, merelakan leher kuning langsatnya diikatkan pada selendang yang dikuatkan Raden Sudira. Beberapa saat, matanya terpejam dan wajahnya tertunduk hening cipta.
Ikatan menguat, suara tercekik terdengar keluar dengan ngeri dari bibir manis Raden Ayu Lembah yang pelahan memucat. Kakinya seperti menerjang-nerjang merasai kesakitan.
Ruh mulai tercerabut dari jasadnya. Meninggal.
Source | : | Digital Library UIN Surabaya,Babad Tanah Jawi |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR