Penurunan status pada 16 spesies lainnya disebabkan oleh ketersediaan data atau informasi baru. Contohnya adalah poksai kuda (Garrulax rufifrons). Spesies ini dikategorikan Kritis (Critically Endangered) sejak 2013.
Setelah ditinjau ulang oleh Burung Indonesia, spesies ini ternyata rutin ditemukan di 14 lokasi yang tersebar di enam area hutan pegunungan di Jawa. Kini, status poksai kuda turun menjadi Genting (Endangered).
Hal serupa terjadi pada celepuk banggai dan walik banggai. Keduanya masuk kategori Rentan (Vulnerable) sejak 2014. Setelah Burung Indonesia meninjau ulang pada 2022, keduanya masih umum ditemukan di Pulau Peling, Banggai Kepulauan.
Mereka mendiami berbagai tipe habitat, termasuk hutan primer dan sistem agroforestri. Status keterancaman walik banggai kini turun menjadi Mendekati Terancam Punah (Near Threatened).
Sebaliknya, dari 12 spesies yang status keterancamannya meningkat, sebelas di antaranya mencerminkan perubahan sebenarnya di lapangan. Salah satu contohnya adalah mentok rimba (Asacornis scutulata) yang berstatus Kritis (Critically Endangered). Ancaman utama meliputi konversi hutan rawa dataran rendah, degradasi habitat akibat pengelolaan hutan, perburuan liar, dan pengambilan telur.
Delapan spesies burung pantai migran juga mengalami peningkatan kategori keterancaman. Spesies ini sangat bergantung pada lahan basah sepanjang Jalur Terbang Asia Timur-Australasia. Peningkatan status mereka sebagian besar disebabkan hilangnya habitat penting akibat reklamasi pesisir dan konversi lahan, serta gangguan manusia saat migrasi dan overwintering.
Hingga akhir tahun 2024, tidak ada perubahan besar pada jumlah spesies burung endemis di Indonesia. Jumlahnya tetap 542 spesies, sama seperti tahun sebelumnya. Namun, dalam lima tahun terakhir, terdapat penambahan 30 spesies baru. Lebih dari separuhnya berasal dari proses pemisahan taksonomi, seperti pada burung kacamata biasa (Zosterops palpebrosus).
Persebaran burung endemis pada tahun 2024 tidak merata. Sebagian besar ditemukan di wilayah Wallacea (Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara). Tiga kelompok burung menyumbang sekitar 75% dari total endemis Indonesia: Passeriformes (326 spesies), Columbiformes (42 spesies), dan Psittaciformes (41 spesies).
Kebanyakan burung endemis hidup di habitat hutan dataran rendah maupun pegunungan. Oleh karena itu, hilangnya hutan alami sangat berdampak langsung pada mereka karena sebaran geografisnya terbatas.
Ria Saryanthi menyimpulkan, "Status Burung di Indonesia Tahun 2025 menggambarkan kondisi terkini keanekaragaman hayati dan tingkat keterancaman burung di Tanah Air."
Beberapa spesies menghadapi risiko kepunahan lebih tinggi akibat tekanan habitat dan perburuan. Namun, ada juga spesies yang statusnya membaik berkat perlindungan dan pemantauan berkelanjutan.
"Hal ini membuktikan bahwa langkah-langkah konservasi dapat memberikan dampak positif,” pungkas Ria.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
KOMENTAR