Nationalgeographic.co.id—Di balik hutan lebat Papua Barat, sekelompok perempuan adat tengah berusaha membalik nasib dengan mengolah buah pala menjadi komoditas bernilai tinggi yang kini dilirik oleh industri parfum dunia. Dipimpin oleh Mama Siti, 52 tahun, para petani perempuan ini mempertahankan tradisi, memperjuangkan kelestarian hutan, dan meningkatkan kesejahteraan komunitas mereka melalui inovasi berkelanjutan.
Pohon pala ini merupakan warisan dari leluhur mereka. Di Fakfak, masyarakat lokal biasa menyebut pala papua ini dengan nama tomandin.
“Pohon pala di hutan desa dusun pala, Desa Pangwadar, Kecamatan Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat rata-rata sudah banyak, jadi tugas laki-laki biasanya hanya memanjat pohon untuk mengambil buah yang sudah matang. Untuk pengolahannya, sejauh ini sudah ada 118 wanita yang membersihkan buah pala, memisahkan daging dan bijinya, lalu menjemurnya di bawah sinar matahari,” jelas Mama Siti.
Mama Siti adalah petani pala sekaligus dewan pengawas anggota koperasi yang dipimpin oleh perempuan adat di Papua Barat. Ia menjadi teladan dalam menerapkan keterampilan dan ketelatenan serta memimpin perempuan dalam mengolah pala menjadi produk siap jual.
Bagi masyarakat adat Papua Barat, pohon pala melambangkan kehidupan itu sendiri. Dianggap sebagai "penjelmaan perempuan", pohon pala memainkan peran penting dalam menopang masyarakat, dan tabu yang ketat melarang penebangan pohon-pohon ini.
Rasa hormat yang mendalam terhadap pohon pala di Fakfak telah menciptakan tradisi unik seputar panennya. Hal ini menunjukkan hubungan masyarakat adat Fakfak yang berkelanjutan dengan alam.
Dua bulan sebelum musim panen, masyarakat adat akan duduk bersama dan berdiskusi yang disebut sebagai "wewowo" dalam bahasa lokal. Selama waktu ini, mereka melakukan upacara di mana mereka secara simbolis "mengenakan" pohon pala dengan kebaya, pakaian tradisional yang biasanya dikenakan oleh perempuan.
Ini adalah tanda bahwa tidak ada yang bisa memanen pala muda dan mereka menyebutnya "kera-kera". Pohon-pohon itu "dilepas pakaiannya" tepat sebelum panen, memungkinkan masyarakat untuk mulai memanen pala. Setelah panen, mereka meninggalkan lahan untuk pulih secara alami.
Sayangnya, harga jual pala yang rendah dan siklus panen yang hanya dua kali setahun membuat banyak petani kesulitan secara ekonomi. Banyak di antara mereka yang hanya memiliki pekerjaan musiman dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Harga pala sering kali fluktuatif dan tidak menentu tergantung musim. Ketika harga turun, pendapatan dari pala hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat musim panen berakhir, banyak dari kami terpaksa harus beralih profesi untuk menunjang kebutuhan keluarga masing-masing.” tambah Mama Siti.
Baca Juga: Menyulap Kemenyan Asal Danau Toba Jadi Parfum Bernilai Ekonomi Tinggi
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR