Teknologi seperti baterai kendaraan listrik dan digitalisasi manajemen energi memerlukan "investasi besar," dengan potensi efek samping seperti peningkatan konsumsi energi oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Transisi ini juga membawa "perubahan di pasar tenaga kerja," dengan kemungkinan "hilangnya pekerjaan jangka pendek di industri padat karbon" dan munculnya peluang di sektor hijau.
Selain itu, ekonomi hijau membutuhkan "investasi modal awal yang substansial" untuk infrastruktur dan teknologi, seringkali melampaui kapasitas finansial, khususnya bagi negara berkembang dengan "sumber daya keuangan yang terbatas" dan "tingkat utang yang tinggi."
Resistensi politik dari industri berbasis bahan bakar fosil juga menjadi faktor rumit.
Strategi Efektif dan Pembelajaran dari Keberhasilan Global
Meski tantangan implementasi ada, kemajuan di berbagai negara menunjukkan potensi efektivitas kebijakan hijau. Konsep seperti ekonomi sirkular menawarkan alternatif bagi produksi dan konsumsi tradisional dengan meminimalkan limbah melalui daur ulang, penggunaan kembali, dan perbaikan.
Mekanisme keuangan hijau seperti obligasi hijau dan dana investasi berkelanjutan menyalurkan modal ke proyek ramah lingkungan. Adopsi "sistem penetapan harga karbon" dan "implementasi kebijakan pengadaan berkelanjutan" memberikan insentif bagi praktik ramah lingkungan.
"Laporan Bank Dunia tahun 2024" menunjuk pada kebijakan sukses di berbagai negara, dari Mesir hingga Peru, menegaskan pentingnya menyelaraskan kebijakan nasional dengan tujuan global seperti "Perjanjian Paris 2015."
Studi kasus seperti "Energiewende Jerman," energi terbarukan Kosta Rika, dan adopsi kendaraan listrik Norwegia memberikan pelajaran penting bagi negara lain.
Baca Juga: Lestari Awards 2025: Apresiasi Terhadap Keberlanjutan, Catat Tanggal Pentingnya
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR