Kearifan lokal ini dapat dipahami ilmiah, pendapat Agus Prasetya dari Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada berpendapat. Dengan berkubang, kerbau ternak akan menginjak lumpur yang mengisi pori-pori dasar telaga. Pori-pori ini menjadi celah bagi air untuk masuk langsung menuju aliran yang berada jauh di bawah lapisan tanah.
"Lempung tanah ini yang menahan air agar tidak langsung masuk ke celah," terang Agus. "Kalau kita lihat di tingkat mikroskopis lagi, lempung punya kemampuan mengikat materi kecil dan mikrobiologis yang membuatnya semakin tertutup. Kalau semen [berbeda dengan lempung], ketika kemarau dia akan retak. Kalau mau tertutup lagi, harus diperbaiki secara manual."
Sayangnya, kerbau sudah semakin jarang di Kapanewon Saptosari. Hal ini disebabkan penggunaan kerbau sebagai pembajak sawah tergantikan dengan mesin pertanian. Karena semakin jarang, kerbau pun tidak lagi berkubang di telaga.
Alternatifnya, sejak tahun lalu dengan ditandai upacara kemerdekaan di padukuhan, warga Dondong menutupi pori-pori tanah dengan lempung yang dicampur kotoran hewan ternak. Mereka berharap kekeringan tidak kembali melanda telaga kebanggannya.
Tidak hanya itu, mereka melakukan edrek pada hari kedua festival setelah gunungan ditaruh di tengah telaga. Edrek adalah kegiatan warga menangkap ikan yang tersisa sebelum telaga mengering. Langkah kaki mereka beramai-ramai menghentak ke dasar telaga, membuat lempung lebih luas menutup celah-celah yang tak kasat mata.
Nguwongke Wong, Nguwetke Uwit
Gapura kayu terpasang di tepi jalan menuju Telaga Dondong. Di atasnya tertera lukisan wajah merah dengan mulut menganga bertuliskan "nguwongke wong; nguwitke uwit (bhs. Jawa: memanusiakan manusia; mempohonkan pohon) adalah hasil kebudayaan bukan aliran sesat!!!". Tulisan itu seolah menegaskan kewargaan ekologis masyarakat Dondong dengan alam sekitarnya.
Bagi sebagian masyarakat Gunungkidul, telaga bukan sekadar penyedia sumber air, tetapi ruang ekspresi spiritual. Oleh karenanya, kehidupan telaga memerlukan ekosistem hidup dengan pohon-pohon besar yang harus dijaga.
Maret lalu, saya menjumpai Ari Sakti, Kepala Dukuh Legundi dalam kegiatan penanaman pohon bersama Komunitas Resan. Padukuhan Legundi di Kapanewon Panggang punya Telaga Luweng Lor yang dalam hitungan bulan akan surut jika sama sekali tidak ada hujan. "Kekeringan ini enggak pernah seperti itu saat saya masih kecil," tuturnya.
Dari 2000 hingga 2012, tembok semen dibangun di beberapa telaga. Pembangunan di Telaga Dondong berlangsung dari 2011-2012 oleh Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO). Telaga Luweng Lor lebih awal lagi. Pembangunan tembok semen ini digarap dua tahap pada 2000 dan 2014.
Baca Juga: Siput Usal, Sumber Protein Hewani Masyarakat Pesisir Gunungkidul
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR