Menurut pengakuan warga, baik di Dondong maupun Legundi, pembangunan ini awalnya bertujuan untuk mempercantik telaga dan membuka peluang pariwisata. Kenyataannya tidak semanis itu. Tembok telaga justru menghambat ketahanan sehingga kekeringan lebih cepat.
Agus menerangkan, di mana pohon besar tumbuh biasanya tersimpan sumber air di bawahnya. Dengan keberadaan pohon, semestinya air dapat mengalir ke telaga melalui akar. Namun, tembok semen yang membatasi tanah dan telaga menghambat aliran tersebut.
"Pohon-pohon sekitar telaga itu dianggap tempat tunggonan. Keramat. Ada yang nunggu," kata Edi Padmo dari Komunitas Resan. Penghayat kepercayaan dan masyarakat lokal yang mewariskan tradisi kerap mengadakan praktik penghormatan alam sekitar telaga, termasuk pohon-pohon besar.
Ingatan itu sangat jelas bagi Ari. Ketika ia masih kecil pada 1990-an, masyarakat pelaku spiritual mendatangi pohon-pohon besar dan mengadakan kenduri. Ketika agama dan modernitas berkembang, praktik itu mulai ditinggalkan. "Sekarang masih ada, Mas. Paling satu sampai dua orang. Biasanya mereka datang ke luweng itu kalau ada pasangan yang mau nikah," tuturnya.
Warga Dondong menyampaikan aspirasinya agar telaga direvitalisasi. Mereka ingin semen yang memisahkan telaga dan ekosistem sekitarnya dirobohkan. Aspirasi ini sampai ke telinga Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih yang berkunjung ke festival dan rencana realisasinya akan dilaksanakan beberapa tahun ke depan.
Ketika saya menananyakan gagasan serupa supaya bisa diterapkan di Legundi, Ari kurang berkenan. Pasalnya, menurut Ari, tembok itu menjadi tempat pengunjung Luweng Lor untuk memancing. Pemancingan jadi sumber penghidupan bagi Karang Taruna di tempatnya. Pemasukan finansial itu diputar untuk kegiatan warga dan pengadaan benih ikan.
Meski demikian, Ari yang secara pribadi memiliki kedekatan dengan Telaga Luweng Lor dan menginisiasi wisata pemancingan berharap agar telaga 'hidup' kembali. Ia ingin agar masyarakat menghargai dan meramaikan kembali telaga.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR