Nationalgeographic.co.id—Di dunia modern, media sosial menampilkan tren-tren diet. Namun diet ternyata bukan hal baru. Dokter Yunani kuno dan Romawi menggunakan diet sebagai bentuk utama perawatan kesehatan. Yang mengejutkan, saran mereka tampak modern dan sangat masuk akal.
“Terlalu banyak daging merah (khususnya daging sapi) dapat menyebabkan kanker,” tulis Galen, dokter Romawi abad kedua Masehi.
“Mereka yang ingin menurunkan berat badan,” tulis Hippocrates, “harus mencoba apa yang kita sebut kardio puasa: berolahraga dengan perut kosong sebelum makan.”
“Dan sup ayam,” tulis Dioscorides, bapak farmakologi, “sangat sering diberikan kepada mereka yang kesehatannya buruk untuk memperbaikinya.”
“Yang terpenting dari semuanya,” tulis penulis Romawi Celsus, “adalah bahwa setiap orang harus terbiasa dengan sifat tubuh mereka sendiri.”
Seperti apa diet di era Yunani kuno dan Romawi?
Semuanya tentang keseimbangan
Ide kuno tentang pola makan didasarkan pada teori kuno tentang cara kerja tubuh. Kebanyakan dokter Yunani dan Romawi percaya bahwa semua tubuh berada dalam spektrum panas, dingin, basah, dan kering.
Secara umum, sifat basah, kering, panas, dan dingin diyakini sesuai dengan cairan (atau zat) dalam tubuh. Darah panas dan lembap; dahak dingin dan lembap; empedu hitam dingin dan kering; dan empedu kuning panas dan kering. Sejak zaman Hipokrates, diyakini bahwa kekurangan atau kelebihan salah satu zat ini akan menyebabkan rasa sakit dan penyakit. Cara utama untuk mengaturnya adalah melalui olahraga, yang akan memanaskan tubuh, dan diet. Dan bergantung pada zat yang terkandung di dalamnya, olahraga dapat mendinginkan atau memanaskan tubuh dari dalam.
Beberapa tubuh—seperti tubuh wanita—dianggap lebih cenderung “basah”. Sementara yang lain—seperti tubuh pria muda—lebih panas dan kering. Tapi secara umum, kesehatan dapat ditemukan dengan menjaga keseimbangan sifat-sifat ini, jelas Claire Bubb, Asisten Profesor Sastra dan Sains Klasik di Institute for the Study of the Ancient World di NYU.
“Sederhananya,” kata Bubb, “teori dasarnya adalah bahwa pasien yang menderita penyakit panas dan kering (misalnya kolera) kemungkinan akan merasa lebih baik dengan diet yang dingin dan lembap. Dan akan jauh lebih kecil risikonya untuk memberi seseorang selada daripada memberi mereka obat, di mana risiko negatifnya bisa sangat besar.”
Baca Juga: Bagaimana Cara Orang Romawi dan Yunani Kuno Mengatasi Polusi?
Selada dipandang sebagai makanan pendingin yang dapat mengatur suhu tubuh pada mereka yang kepanasan. Entah kepanasan karena sifat intrinsiknya, karena penyakit, atau karena cuaca.
Banyak sifat makanan yang menghangatkan dan mendinginkan yang terasa naluriah. Selada dan mentimun bersifat mendinginkan. Sedangkan arugula bersifat menghangatkan karena pedasnya. Daging adalah makanan yang menghangatkan, terutama jika disiapkan melalui pemanggangan. Makanan mentah bersifat mendinginkan dan karenanya lebih baik disimpan untuk musim panas, saat tubuh perlu didinginkan.
Menurut para dokter kuno, resep-resep ini berhasil. Galen mengeklaim resep kuno tersebut dalam On the Properties of Foodstuffs. Menurutnya, saat masih muda—yang, karena usianya lebih panas—ia berhasil menggunakan selada karena sifatnya yang mendinginkan. Setelah ia lebih tua, selada mulai digunakan sebagai obat tidur.
“Satu-satunya obat untuk mengatasi insomnia bagi saya,” tulisnya, “adalah selada yang dimakan di malam hari,” tulis Galen.
Diet penting untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit. Meski demikian, diet bahkan lebih penting sebagai sarana untuk mencegah penyakit. Dengan perawatan bedah dan farmasi yang masih dalam tahap awal, sebagian besar penyakit tidak dapat disembuhkan. Akibatnya, diet merupakan perawatan kesehatan preventif—dan salah satu dari sedikit cara yang dapat dicoba seseorang untuk menghindari penyakit.
Jika seseorang perlu didinginkan, tulis Celsus dalam On Medicine, mereka harus minum air dingin, tidur, dan makan makanan asam. Jika mereka perlu dihangatkan, mereka harus makan semua makanan asin, pahit, dan daging.
Diet yang dipersonalisasi
“Nasihat diet kuno sangat dipersonalisasi,” kata Bubb. Diet yang ideal perlu disesuaikan dengan individu, jadi gagasan tentang jumlah harian yang direkomendasikan secara universal tidak masuk akal.
Misalnya seorang gladiator berotot, disarankan untuk makan makanan yang “bergizi” dan memperkuat seperti daging babi atau sapi. Lalu bagaimana dengan diet pekerja kantoran kuno yang terjebak di belakang meja sepanjang hari melakukan pembukuan atau tugas birokrasi? Mereka akan merasa lebih baik dengan makanan yang lebih ringan seperti ikan. Namun, beberapa orang, kata dokter kuno Galen, lebih mudah mencerna daging sapi daripada ikan. Aturannya akan berbeda untuk mereka.
Secara umum, sebagian besar pasien disarankan untuk mengikuti dua prinsip utama: makan sesuai musim dan menghindari perubahan drastis. Yang pertama lebih berkaitan dengan penyesuaian terhadap cuaca: di musim panas, makanlah makanan yang ringan dan dingin. Sedangkan di musim dingin, konsumsilah makanan yang menghangatkan dengan makanan yang lebih berat dan menenangkan.
Sementara sebagian besar penulis ini mengikuti apa yang kita sebut sebagai diet Mediterania. Diet mediterania terdiri dari minyak zaitun, ikan, sayuran, dan biji-bijian. Diet ini merupakan diet orang zaman dahulu bergantung pada status sosial ekonomi mereka. Dasar dari diet ini adalah lentil, roti, saus ikan fermentasi (garum), dan ikan sesekali. Dan dalam minggu yang baik, mereka bisa mengonsumsi daging. Orang kaya memiliki akses ke bahan makanan yang dibumbui dan diolah dengan baik. Seperti beragam jenis daging dan ikan seperti lidah flamingo dan macan kumbang.
Mengenai perubahan drastis, dokter kuno percaya bahwa perubahan radikal dalam diet dapat menyebabkan penyakit. Transisi dari pola makan musim dingin ke musim panas dalam semalam, misalnya, dianggap ekstrem. “Seekstrem beralih dari gaya hidup yang tidak banyak bergerak pada satu minggu ke lari maraton pada minggu berikutnya,” tulis Candida Moss di laman National Geographic.
Celsus memperingatkan, “Anda tidak dapat beralih dari kelelahan berlebihan ke istirahat tiba-tiba. Atau dari istirahat panjang langsung ke kelelahan tanpa efek buruk yang serius.”
“Bahkan ketika beralih dari musim ke musim dan meningkatkan olahraga,” tulis Diocles, dalam Regimen for Health, “Anda harus menaikkannya perlahan-lahan dan berhati-hati agar tidak berlebihan.”
Menariknya, penelitian modern setuju dengan apa yang diyakini orang dahulu. Bahwa perubahan gaya hidup yang kecil dan bertahap jauh lebih efektif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesehatan secara keseluruhan. “Daripada perubahan besar dan tiba-tiba,” tambah Moss.
Perang pola makan di zaman modern
Dokter-dokter modern memperdebatkan nilai gizi berbagai jenis lemak. Sementara itu, para ahli kuno tidak sepakat tentang bahan-bahan seperti lentil. Lentil diagungkan oleh para filsuf Stoik seperti Zeno dari Citium dan Musonius Rufus. Mereka menganggap pola makan lebih banyak tentang pengendalian diri dan menghindari makanan asing yang berlebihan.
Dalam On Keeping Well, penulis Yunani Plutarch berpendapat bahwa tidak seorang pun boleh menyimpang terlalu jauh dari pola makan lentil yang sederhana. Pasalnya. Bahan-bahan yang lebih murah selalu lebih sehat bagi tubuh.
“Namun bagi banyak dokter Romawi,” kata Bubb, “lentil dianggap sangat tidak sehat.” Dioscorides mengeklaim tentang hal ini dalam Medical Substances-nya. Menurutnya, lentil, jika dimakan terus-menerus, menyebabkan penglihatan kabur, pencernaan yang buruk, sakit perut, gas dan sembelit di usus.
Demikian pula, sementara kebanyakan orang memuji manfaat kubis sebagai semacam obat mujarab untuk semua penyakit, yang lain tidak setuju. “Kubis,” tulis Cato the Elder, “adalah sayuran yang melampaui semua yang lain.” Kubis dapat dimakan mentah atau dimasak, dan ditaburi cuka, kubis menyehatkan perut. Kubis bahkan menghasilkan urine yang memiliki khasiat obat. Dimakan sebelum pesta, tambahnya, kubis dapat membantu mencegah mabuk dan gangguan pencernaan akibat makan berlebihan. Kubis tidak hanya membersihkan tubuh tetapi juga menjernihkan pikiran.
Tiga abad kemudian, Galen tidak setuju. Galen mengakui bahwa kubis memiliki khasiat pembersih. Namun, menurut Galen, kubis jelas bukan makanan sehat, seperti selada. Kubis memiliki sari yang merusak dan berbau tidak sedap.
Puasa dan lemak baik
Beberapa aspek dari nasihat diet kuno secara mengejutkan sesuai dengan tren dan filosofi gaya hidup modern. Sejak abad kelima SM, kata Bubb, teks Hipokrates menyarankan orang untuk mencoba puasa berselang. Ia juga menyarankan untuk latihan silang dengan berlayar, berburu, dan berjalan di berbagai medan. Serta mengonsumsi makanan berlemak tinggi (seperti mentega, keju domba, dan minyak zaitun) untuk menurunkan berat badan.
“Hidangan harus mengandung banyak lemak,” tulis Hipokrates “agar pelaku diet merasa kenyang setelah makan dalam jumlah yang sedikit.”
Kini, para ilmuwan sepakat bahwa, dalam lingkungan yang terkendali, lemak memang memengaruhi rasa kenyang.
Namun, tidak semua saran tersebut tampak praktis—atau bahkan aman—bagi mereka yang peduli kesehatan saat ini. Kisaran perawatan medis yang relatif terbatas membuat dokter Hipokrates sering merekomendasikan pembersihan rutin. Ia menyarankan anggur bagi orang-orang dari segala usia (meskipun diencerkan). Waktu yang dihabiskan untuk mandi dan dipijat, yang diresepkan sebagai bagian dari rejimen umum untuk menjaga kesehatan. Meski terdengar menarik, saran-saran itu mungkin menyulitkan untuk mempertahankan jam kerja modern.
Lalu, ada hal-hal yang aneh. Ketertarikan kuno pada kubis, yang hampir menjadi obat universal bagi banyak orang di sekitar Mediterania kuno, tampaknya cukup tidak berbahaya. Namun, Bubb mencatat bahwa pendapat medis kuno lainnya lebih meragukan. Contohnya seperti gagasan bahwa kemangi yang membusuk secara spontan mengundang kalajengking. Lalu bahwa makan terlalu banyak buah ara menyebabkan kutu rambut. Serta buah pada umumnya sangat buruk bagi Anda. Atau bahwa berjalan-jalan tanpa busana adalah strategi penurunan berat badan yang baik.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR