Nationalgeographic.co.id—Ada gejolak yang tak bisa diabaikan di pasar kopi global saat ini. Harga komoditas favorit dunia ini sedang merangkak naik, didorong oleh badai sempurna dari cuaca ekstrem, ketegangan di rantai pasok, dan pergeseran tren produksi yang mendasar.
Laporan terbaru World Bank, Commodity Markets Outlook, mencatat adanya kenaikan 18% pada indeks harga minuman mereka. Kenaikan signifikan ini utamanya disumbang oleh lonjakan harga kopi dan kakao.
Setelah sempat melonjak 58% pada indeks harga sepanjang tahun 2024, ada secercah harapan dengan prakiraan penurunan 9% di tahun 2025, diikuti penurunan tambahan 3% di tahun 2026 seiring ekspektasi stabilisasi produksi.
Di Balik Lonjakan Harga Kopi
Di garda terdepan, para petani hingga penyangrai kopi sedang berjuang keras mengelola volatilitas harga pasar yang terjadi. Namun, di tengah badai ini, BIGGBY COFFEE, di bawah kepemimpinan visioner Co-Founder & CEO Bob Fish, justru terlihat tenang.
"BIGGBY COFFEE akan baik-baik saja, kami telah memahami bahwa momen ini tak terhindarkan," ujar Bob Fish dengan keyakinan, seperti dilansir laman Sustainability Magazine.
Ia menambahkan, "Model kami tidak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang pesat. Petunjuknya, Anda harus sangat peduli terhadap rantai pasokan Anda dan orang-orang di dalamnya, mulai dari produsen hingga pengguna akhir."
Bob mengenang perjalanan panjang bisnisnya, "Kami akan berusia 30 tahun di bulan Maret. Empat gelombang kopi, krisis keuangan tahun 2008, COVID, dan banyak pesaing telah kami lewati. Kami selalu gigih."
Keyakinan Bob ini berlawanan tajam dengan sentimen industri secara umum. Terlebih, harga kopi arabika baru-baru ini meroket 13%, menjadikan kenaikan year-over-year-nya tembus di atas 60%. Tak mau kalah, harga kopi robusta juga naik 5%, yang secara efektif menggandakan harganya dibanding tahun sebelumnya.
Meskipun produksi kopi global diproyeksikan naik tipis dari 169,8 juta karung di tahun 2024 menjadi 172,4 juta karung di tahun 2025, angka ini masih di bawah tingkat produksi yang terlihat pada periode 2020-2021. Harga arabika diperkirakan akan mereda, turun 8% di tahun 2025 sebelum stabil di tahun 2026.
Sementara itu, harga robusta diprediksi turun 7% di tahun 2026. Menanggapi situasi ini, peritel besar seperti Starbucks berusaha meyakinkan para pemangku kepentingannya. Rachel Ruggeri, CFO Starbucks, menyampaikan kepada investor, "Dampak harga kopi kami secara year-over-year sangat minimal."
Baca Juga: Ilmuwan Ungkap Metode Penyeduhan Kopi 'Terbaik', Hasilnya Mengejutkan?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR