Nationalgeographic.co.id—Sebuah terobosan ilmiah baru saja mengungkap potensi luar biasa dari budidaya rumput laut.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ladang rumput laut buatan manusia memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon organik dalam sedimen di bawahnya dengan tingkat yang setara dengan ekosistem pesisir alami yang dikenal sebagai penyimpan blue carbon (karbon biru), seperti hutan bakau dan padang lamun.
Temuan signifikan ini membuka peluang baru dalam upaya global untuk menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer dan laut, menawarkan metode penghilangan karbon yang inovatif berbasis kelautan.
Studi penting yang didukung oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) ini dipublikasikan dalam jurnal Nature: Climate Change. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa perkebunan rumput laut, meskipun tidak terjadi secara alami, dapat berperan krusial dalam siklus karbon global dengan meniru fungsi penyimpanan karbon dari habitat karbon biru alami.
Potensi Besar Budidaya Rumput Laut sebagai Solusi Iklim
Konsep karbon biru—karbon yang ditangkap dan disimpan oleh ekosistem laut—telah lama diakui sebagai solusi berbasis alam yang menjanjikan untuk mitigasi perubahan iklim.
Ekosistem pantai yang sehat seperti hutan bakau, padang lamun, dan rawa asin memiliki kapasitas luar biasa untuk menarik karbon dari atmosfer dan menyimpannya dalam sedimen mereka. Akumulasi karbon dalam sedimen di ekosistem ini terjadi secara signifikan lebih cepat dibandingkan di banyak ekosistem darat.
Kajian terbaru ini, yang juga didukung oleh Global Seaweed Project dari Oceans 2050, membuktikan bahwa budidaya rumput laut—suatu aktivitas yang dikelola oleh manusia—kini dapat secara ilmiah dimasukkan ke dalam kategori solusi karbon biru ini.
Para ilmuwan dalam penelitian ini menganalisis data komprehensif dari 20 lokasi perkebunan rumput laut yang tersebar di lima benua. Hasilnya secara meyakinkan menunjukkan bahwa rumput laut yang dibudidayakan mampu mengubur karbon dalam sedimen dasar laut pada laju yang sebanding dengan ekosistem karbon biru alami.
"Kami sudah menduga penyerapan karbon dalam sedimen ini akan signifikan," ujar Pere Masque, salah satu penulis utama makalah ini dan mantan staf IAEA, seperti dilansir laman miragenews.com.
"Dengan dukungan tim lokal yang luar biasa, kami berhasil mengujinya di 20 lokasi berbeda di seluruh dunia," tambahnya, menekankan skala dan kekuatan empiris penelitian ini.
Baca Juga: Karbon Biru: Bukan Asia Apalagi Eropa, Pemimpin Ekonomi Biru Datang dari Wilayah Ini
KOMENTAR