Nationalgeographic.co.id—Seiring naiknya permukaan laut dan pergeseran garis pantai, ribuan hektare hutan pesisir berubah menjadi rawa asin atau bahkan lahan tandus. Fenomena ini tak hanya mencerminkan dampak nyata perubahan iklim, tetapi juga menandai transisi ekosistem pesisir.
Seperti tulang belulang raksasa yang tertanam di bumi, deretan batang pohon yang telah kehilangan kulit kayunya bermunculan di sepanjang Teluk Chesapeake, di pesisir Atlantik bagian tengah Amerika Serikat.
Inilah yang disebut ghost forest atau hutan hantu, sisa-sisa menyeramkan dari hutan cemara dan pinus yang dulunya rimbun. Sejak akhir abad ke-19, hamparan pohon mati ini terus meluas di sepanjang pesisir. Dan yang mati itu tak akan tumbuh kembali.
Kuburan pepohonan ini muncul di wilayah dataran landai yang berbatasan langsung dengan laut, tempat air asin makin sering meresap ke dalam tanah.
Di sepanjang pesisir timur Amerika, sebagian wilayah barat, dan beberapa kawasan lain, peningkatan kadar garam dalam tanah telah membunuh ratusan ribu hektare hutan, menyisakan kerangka-kerangka kayu yang kini dikelilingi rawa-rawa.
Apa yang akan terjadi selanjutnya masih menjadi tanda tanya. Beberapa hutan mati akan berubah menjadi rawa yang tetap menyediakan jasa ekosistem penting, seperti menyerap karbon dan meredam badai.
Namun ada pula yang justru dikuasai tanaman invasif atau bahkan tak mendukung kehidupan tumbuhan sama sekali—dan pada akhirnya, jasa ekosistem pun hilang. Para peneliti tengah mencoba memahami dampak jangka panjang dari pergeseran ekosistem pesisir ini, dari hutan ke rawa atau ke lanskap mati.
Menurut ahli ekologi pesisir Keryn Gedan dari George Washington University, banyak hutan hantu ini merupakan dampak langsung dari naiknya permukaan laut. Ketika air laut naik, gelombang badai menjadi lebih kuat dan sering membanjiri tanah dengan air asin.
Dalam kondisi kekeringan dan naiknya air laut, permukaan air tanah pun berubah, memungkinkan air asin menjalar lebih jauh ke daratan dan menyusup ke bawah lantai hutan. Pohon-pohon yang kehilangan akses ke air tawar menjadi stres dan perlahan mati seiring akumulasi garam di tanah.
Meski terdengar tragis, transisi dari hutan hidup ke rawa tidak selalu merupakan kehilangan, kata Gedan. Rawa juga bagian penting dari ekosistem pesisir. Bahkan, menurut Marcelo Ardón—ahli ekologi dan biogeokimia dari North Carolina State University—perubahan seperti ini sudah terjadi sejak masa lalu dalam periode kenaikan muka laut.
"Kita bisa membayangkan hutan dan rawa ini seperti sedang berdansa, saling bergantian naik turun di sepanjang garis pantai," ujarnya.
Baca Juga: Perubahan Iklim, Sepertiga Spesies di Bumi Akan Punah pada 2100
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR