Nationalgeographic.co.id—Polusi plastik kini menjadi salah satu tantangan lingkungan terbesar di dunia. Setiap tahun, jutaan ton plastik berakhir di lautan, sungai, dan daratan, mencemari ekosistem serta membahayakan kehidupan satwa liar dan manusia.
Polusi plastik paling terlihat di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, di mana sistem pengumpulan sampah sering kali tidak efisien atau bahkan tidak tersedia sama sekali.
Namun, negara-negara maju pun tidak luput dari masalah ini—terutama yang memiliki tingkat daur ulang yang rendah—dan masih kesulitan dalam mengelola sampah plastik dengan benar.
Saking meluasnya sampah plastik, isu ini telah mendorong upaya penyusunan perjanjian global yang kini tengah dinegosiasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Bagaimana Polusi Plastik Menyebar ke Seluruh Dunia
Sebagian besar polusi plastik di lautan—penampungan terakhir sampah Bumi—berasal dari daratan. Sampah-sampah ini terbawa ke laut melalui sungai-sungai besar yang berfungsi seperti ban berjalan, mengangkut limbah dari berbagai wilayah dan mengumpulkan lebih banyak sampah seiring alirannya menuju hilir.
Setibanya di laut, sebagian besar sampah plastik tetap berada di perairan pesisir. Namun jika terjebak dalam arus laut, polusi ini bisa menyebar sangat jauh, melintasi benua dan samudra.
Salah satu contohnya adalah pusaran arus laut di Samudra Pasifik Selatan (South Pacific gyre) yang membawa limbah plastik hingga ke Pulau Henderson—sebuah atol tak berpenghuni di Kepulauan Pitcairn yang terpencil, terletak di antara Chili dan Selandia Baru.
Di sana, para ilmuwan menemukan sampah plastik dari berbagai belahan dunia: Rusia, Amerika Serikat, Eropa, Amerika Selatan, Jepang, dan Tiongkok.
Bagaimana Mikroplastik Memengaruhi Kesehatan Kita
Setelah masuk ke laut, sinar matahari, angin, dan gelombang laut akan memecah sampah plastik menjadi partikel-partikel kecil, sering kali berukuran kurang dari lima milimeter. Partikel ini dikenal sebagai mikroplastik.
Baca Juga: Mikroplastik Ditemukan di dalam Buah Zakar Manusia, Apa Dampaknya?
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR