Herculano-Houzel mengatakan bahwa studinya memang memperhitungkan otak dinosaurus yang tidak sepenuhnya mengisi rongga otak. Dia juga tidak yakin dengan temuan baru tersebut.
“Gutierrez-Ibanez dan rekan-rekannya membuat ‘kesalahan fatal’ dalam asumsi mereka tentang rasio tubuh-otak yang menyebabkan jumlah sel yang lebih rendah,” kata Herculano-Houzel. Dengan memasukkan burung-burung yang berkerabat jauh seperti pelikan dan penguin tim Gutierrez-Ibanez sampai pada kesimpulan yang salah, menurut Herculano-Houzel. Burung-burung yang berkerabat jauh itu memiliki rasio tubuh-otak yang berbeda secara fundamental.
Apakah T. rex memiliki banyak neuron cadangan mungkin bukan indikator yang baik dari keseluruhan kekuatan otak dinosaurus, kata Amy Balanoff. Balanoff adalah ahli biologi evolusi di Johns Hopkins School of Medicine.
Bahkan jika T. rex memiliki kepadatan neuron yang setara dengan primata, sel-sel tersebut mungkin membantu dinosaurus menggerakkan tubuh. Atau untuk mengumpulkan informasi sensorik. Misalnya, pusat penciuman otak depan T. rex sangat besar, kata Balanoff.
Jika ada banyak neuron di telensefalon, banyak di antaranya akan dikhususkan untuk memproses informasi penciuman.
Namun, Balanoff berkata, “Saya sangat menghargai penelitian awal yang memulai pembahasan. Anda tidak dapat memajukan sains jika Anda tidak mau mengungkapkan datanya.”
“Jumlah neuron bukanlah prediktor yang baik untuk kinerja kognitif. Dan menggunakannya untuk memprediksi kecerdasan pada spesies yang telah lama punah dapat menyebabkan interpretasi yang sangat menyesatkan,” imbuh Dr. Ornella Bertrand dari Institut Català de Paleontologia Miquel Crusafont.
“Kemungkinan bahwa T. rex mungkin secerdas babon sangat menarik dan menakutkan. Hal itu juga memiliki potensi untuk mengubah pandangan kita tentang masa lalu,” simpul Dr. Darren Naish dari University of Southampton. “Namun, penelitian kami menunjukkan bagaimana semua data yang kami miliki bertentangan dengan gagasan ini. Mereka lebih seperti buaya raksasa yang cerdas, dan itu sama menariknya.”
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR