Nationalgeographic.co.id—Bukti arkeologi menunjukkan bahwa manusia tiba di Papua New Guinea atau Papua Nugini setidaknya sejak 60.000 tahun lalu dari Asia Tenggara. Para penjelajah yang datang kemudian mendirikan suku dan klan mengembangkan bahasa dan budaya yang sepenuhnya terisolasi satu sama lain. Hal ini lantaran pegunungan dan medan yang terdapat di New Guinea.
Mereka tidak menyadari bahwa ada suku tetangga yang hanya berjarak beberapa kilometer. Hasil dari perkembangan ini adalah populasi yang paling beragam di dunia.
Klan dan suku pertama yang menetap secara tradisional adalah pemburu dan pengumpul. Namun setelah mereka tiba di pulau tersebut, diyakini bahwa mereka mulai berkebun dan mengolah tanaman yang masih digunakan sampai sekarang.
Berbicara mengenai penduduk Papua Nugini, baru-baru ini sebuah penelitian ilmiah mencoba menganalisis DNA kuno 42 orang dari Papua Nugini.
Genom manusia purba pertama yang dianalisis dari Papua Nugini mengungkap bahwa beberapa kelompok awal yang tinggal di sana terisolasi sepenuhnya secara genetik dari tetangga mereka. Hal ini ditunjukkan dari hanya ada sedikit perkawinan campuran di beberapa titik waktu. Penelitian ini diterbitkan pada 4 Juni lalu di jurnal Nature Ecology & Evolution.
Dalam studi baru, para peneliti menganalisis DNA purba dari tulang dan gigi 42 orang yang hidup sekitar 2.600 tahun lalu di Papua Nugini—negara yang menempati bagian timur Pulau Nugini—dan Kepulauan Bismarck yang terletak di timur laut pulau utama.
"Proses ini memakan waktu yang sangat lama," kata penulis utama studi Kathrin Nägele, seorang arkeogenetik di Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi di Leipzig, Jerman. "Pelestarian DNA di lingkungan tropis sangat menantang."
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Papua Nugini dan wilayah sekitarnya pertama kali dihuni lebih dari 50.000 tahun yang lalu. Kemudian, sekitar 3.300 tahun yang lalu, datang kelompok masyarakat pelaut baru dengan keturunan Asia.
Temuan baru ini secara tak terduga mengungkapkan bahwa penduduk paling awal yang diketahui di Kepulauan Bismarck dan orang-orang Lapita tidak bercampur secara genetik selama berabad-abad. Namun, satu individu yang diteliti menunjukkan bahwa mereka merupakan hasil percampuran sekitar 2.100 tahun yang lalu.
"Meskipun terjadi bersamaan, tampaknya kelompok-kelompok yang berbeda tidak bercampur dalam waktu yang lama, yang merupakan hal yang sangat tidak biasa dalam pertemuan manusia," kata salah satu penulis utama studi Rebecca Kinaston, seorang antropolog dan direktur BioArch South.
Temuan-temuan ini juga menjelaskan asal usul pulau-pulau kecil di Oseania seperti Samoa, Tonga, dan Vanuatu. Temuan-temuan ini mendukung penelitian sebelumnya bahwa orang Papua dan orang Lapita secara terpisah tiba di pulau-pulau terpencil tersebut dan menikah di sana, bukannya berbaur terlebih dahulu di Nugini dan pulau-pulau terdekat, lalu berlayar ke tanah-tanah terpencil tersebut.
Baca Juga: Alih-Alih Dihisap, Apa Alasan Suku Maya Kuno Meminum Cairan Tembakau?
Menurut Nägele, hal ini menunjukkan bahwa orang Papua secara terpisah mampu melakukan pelayaran yang luar biasa. Para pemburu-pengumpul yang hidup di wilayah pesisir Papua Nugini kemungkinan besar telah diremehkan, sebagaimana masyarakat pemburu-pengumpul di berbagai belahan dunia juga sering diremehkan.
Dua komunitas dengan genetik berbeda
Para ilmuwan juga menganalisis dua komunitas yang mendiami pesisir selatan Papua Nugini antara 150 dan 500 tahun lalu. Nägele mengatakan kedua komunitas tersebut secara tak terduga berbeda secara genetik meskipun mereka hidup terpisah hanya beberapa kilometer.
"Dengan meneliti hubungan kekerabatan langsung antara kedua situs tersebut, kami harus menelusuri enam generasi ke belakang untuk menemukan nenek moyang yang sama, yang berarti bahwa selama enam generasi, kedua kelompok tersebut tidak bercampur meskipun jaraknya dekat dan tidak ada penghalang geologis di antara mereka," kata Nägele.
Kedua kelompok tersebut memiliki campuran garis keturunan yang berhubungan dengan Papua dan Asia Tenggara. Salah satu kelompok, yang dikuburkan di situs Eriama, menunjukkan lebih banyak garis keturunan yang berhubungan dengan Papua dibandingkan dengan situs Nebira, di mana garis keturunan Asia menjadi komponen yang lebih dominan.
Diversifikasi budaya
Mengapa kelompok-kelompok ini berhenti bercampur satu sama lain? Salah satu kemungkinannya adalah masa yang penuh tantangan iklim di Nugini antara 1.200 dan 500 tahun lalu, yang mungkin telah menyaksikan peningkatan kejadian El Niño, seperti kekeringan besar.
Nägele menjelaskan bahwa mereka meninggalkan permukiman dan orang-orang mungkin telah pindah ke tempat-tempat yang tidak dikenal yang lebih layak dihuni.
Menurut para peneliti, di mana pun orang-orang ini berada, mereka mulai terlibat dalam jaringan perdagangan baru. Nebira tampaknya lebih terlibat dengan kelompok-kelompok pesisir, dan Eriama lebih banyak dengan kelompok-kelompok pedalaman dari dataran tinggi.
Hal ini mungkin telah menyebabkan identitas yang berbeda, masakan yang berbeda, dan perbedaan-perbedaan lain yang menyebabkan diversifikasi budaya.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR