Nationalgeographic.co.id – Di pulau Mallorca, Spanyol, seorang peneliti menemukan situs street foo atau jajanan jalanan Romawi kuno berusia 2.000 tahun. Situs itu lengkap dengan lubang pembuangan besar yang penuh dengan tulang-tulang hewan. Penemuan tersebut mengungkap menu makanan atau jajanan jalanan (street food) Romawi kuno. Makanan yang ada di dalam menu antara lain: mamalia, ayam, ikan, dan, yang paling menonjol, burung song thrush.
Lubang itu terletak di kota Romawi kuno Pollentia. Kota kuno tersebut dihuni oleh Kekaisaran Romawi setelah menaklukkan Kepulauan Balearic Spanyol pada abad kedua SM. Laporan ditulis Alejandro Valenzuela, seorang peneliti di Mediterranean Institute for Advanced Studies di Mallorca.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam International Journal of Osteoarchaeology itu bertajuk “Urban Consumption of Thrushes in the Early Roman City of Pollentia, Mallorca (Spain)”.
Bangsa Romawi kuno mengubah Pollentia menjadi pelabuhan laut perkotaan yang berkembang pesat. Mereka membangun forum, kuil Tuscan, teater, dan permakaman.
Di antara tabernae Pollentia—jaringan pertokoannya—terdapat sebuah bangunan yang pertama kali digali pada tahun 1990-an. Bangunan itu berisi sebuah bar yang disematkan dengan enam amphorae, toples besar yang biasanya berisi anggur atau minyak zaitun. Seperti yang ditulis Valenzuela, pengaturan ini merupakan ciri khas popina, kedai Romawi kuno yang menyediakan anggur dan makanan ringan. Popina terhubung ke sebuah lubang pembuangan, berukuran 1,2 meter lebar dan hampir 4 meter dalam, yang digali sekitar tahun 10 SM.
Untuk penelitian baru ini, Valenzuela menganalisis isi lubang sampah ini. “Lubang ini berisi banyak tulang mamalia, ikan, dan burung yang telah diolah dan dimasak,” tulis Sonja Anderson di laman Smithsonian Magazine.
Dari berbagai spesies burung yang ada, tulang burung yang paling umum di lubang ini adalah milik burung song thrush. Burung song thrush adalah burung penyanyi berbintik-bintik cokelat dan putih yang tumbuh hingga sekitar 22 cm panjangnya. Membuatnya lebih besar dari burung chickadee dan lebih kecil dari burung merpati.
“Dalam tradisi kuliner lokal di Mallorca, burung song thrush (Turdus philomelos) masih sesekali dikonsumsi. Saya dapat mengatakan dari pengalaman pribadi bahwa rasanya lebih mirip dengan burung buruan kecil seperti burung puyuh daripada ayam,” kata Valenzuela.
Saat memeriksa kerangka di lubang tersebut, Valenzuela menemukan tulang burung song thrush. Sebagian besar berupa tengkorak, tulang dada, dan tulang distal sayap dan kaki. Tulang sayap, dada, dan kaki burung song thrush yang lebih besar sebagian besar hilang dari lubang tersebut. “Hal itu dikaitkan dengan bagian tubuh burung yang paling berdaging,” tulis Valenzuela dalam penelitian.
Peneliti menduga bahwa juru masak kedai Pollentia menyiapkan burung song thrush untuk dikonsumsi dengan membuang tulang dadanya untuk meratakannya. Juru masak kemudian dengan cepat memanggang atau menggorengnya dalam wajan. Burung-burung itu mungkin disajikan di atas piring. Pasalnya, kolam pembuangan kotoran juga berisi pecahan-pecahan keramik. “Namun mengingat ukurannya yang kecil dan konteks makanan jalanan, burung-burung itu mungkin disajikan di atas tusuk sate. Atau bahkan tongkat. Tujuannya adalah agar lebih mudah dipegang,” tambah Valenzuela.
Para sejarawan telah lama menganggap bahwa song thrush adalah hidangan mewah bagi orang Romawi. Fakta itu tercatat sebagai makanan lezat dalam beberapa literatur kuno.
Baca Juga: Seperti Apa Obsesi Bangsa Romawi dan Yunani Kuno dengan Saran Diet?
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR