Fosil ini saat ini dipinjamkan ke American Museum of Natural History di New York. Carr berharap peneliti lain akan mengikuti jejaknya untuk meneliti bagaimana pasar komersial memengaruhi spesies purba lain.
“Saya berharap rekan-rekan peneliti yang peduli akan mulai menghitung dan memublikasikan data mengenai spesimen dari spesies yang mereka pelajari yang hilang karena masuk ke pasar komersial,” ujar Carr.
Reaksi Peneliti Terhadap Perdagangan Fosil T. rex
Thomas Holtz Jr., ahli paleontologi vertebrata dari University of Maryland yang juga meneliti pertumbuhan T. rex, mengaku kecewa mengetahui banyak spesimen penting tidak dapat diakses oleh peneliti.
“Sama seperti Carr, saya khawatir bukan hanya karena banyak spesimen bagus yang tidak bisa diteliti, tapi juga karena spesimen muda dan remaja justru mendominasi koleksi komersial,” kata Holtz kepada Live Science.
Sementara itu, David Hone, dosen zoologi di Queen Mary University of London, menanggapi dengan pandangan yang lebih moderat. Ia mengaku tetap ingin melihat lebih banyak fosil T. rex masuk ke koleksi publik, tetapi tak terlalu khawatir soal perdagangan fosil ini.
“Pertama, tidak banyak yang bisa benar-benar dilakukan untuk menghentikan perdagangan fosil seperti ini,” ujar Hone.
“Dan meskipun saya ingin lebih banyak fosil T. rex berada di tangan publik, masih cukup banyak spesimen yang bisa dipelajari. Ada fosil yang lebih langka dan lebih penting yang malah diperdagangkan secara ilegal dan menurut saya lebih perlu mendapat perhatian,” tambahnya, merujuk pada fosil-fosil yang diselundupkan secara ilegal dari negara seperti Brasil dan Mongolia.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR