Nationalgeographic.co.id—Berbicara tentang perang yang "mulia" dapat membuat Anda terdengar seperti seorang psikopat. Perang itu biadab. Perang tidak memiliki akhir yang hebat, hanya kematian dan kehancuran. Ada cara yang jauh lebih baik untuk menyelesaikan konflik daripada terlibat dalam latihan kebrutalan, kesia-siaan, dan kebodohan ini.
Manfred F. R. Kets de Vries, Distinguished Clinical Professor bidang Leadership Development & Organisational Change di INSEAD, pernah menulis artikel tentang kegilaan perang para pemimpin negara di website lembaganya tersebut.
"Terlalu sering, para pemimpin memulai perang karena batas wilayah yang tidak jelas dan nilai-nilai materialistis. Dan pada akhirnya, tidak ada yang menang," tulisnya.
Seperti yang dikatakan filsuf Bertrand Russell dengan tegas, "Perang tidak menentukan siapa yang benar – hanya siapa yang tersisa." Bahkan jika secara fisik tidak terluka, sesungguhnya tidak ada prajurit yang selamat dari perang.
Saat ini, kengerian yang tak terlukiskan yang menyertai perang terbukti dalam operasi militer Israel dan Amerika Serikat melawan Iran. Sejatinya, pertempuran tidak memunculkan sisi terbaik dalam diri manusia, tetapi justru melepaskan sisi buas dalam diri mereka.
Yang tidak masuk akal dan mengerikan tentang perang adalah bahwa orang-orang yang tidak memiliki pertengkaran pribadi didorong untuk saling membunuh dengan darah dingin. Hampir semua yang dilakukan dalam perang akan dianggap sebagai kejahatan di masa damai.
Reaksi Kekanak-kanakan terhadap Konflik
Banyak orang merasionalisasi perang sebagai kejahatan yang perlu dilakukan. Beberapa bahkan menyatakan bahwa perang tidak dapat dihindari ketika menginginkan perdamaian.
Namun, mengingat kehancuran yang terjadi, kita harus bertanya: perdamaian seperti apa? Sejarah menunjukkan bahwa meskipun ada perang yang tak berkesudahan, dunia masih terbagi seperti sebelumnya.
"Membangun peradaban di atas tumpukan mayat bukanlah cara bagi peradaban untuk maju," tegas de Vries.
Baca Juga: Setengah Abad Usai Perang, Warga Negara Ini Masih Saja Dihantui oleh Ladang Bom yang Mematikan
Dapat dikatakan bahwa perang adalah respons bawaan kita, seperti reaksi spontan yang umum ditemukan di antara anak-anak kecil. Filsuf Jerman Immanuel Kant pertama kali mencatat bahwa "Bagi manusia, kondisi alamiah bukanlah kondisi damai, tetapi perang."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR