Nationalgeographic.co.id—Dalam rentang waktu yang singkat antara tahun 1978 dan 1979, Iran menjadi saksi bisu gelombang pasang perubahan yang menggelegar, secara fundamental mengukir ulang peta politik dan sosial Timur Tengah.
Berawal dari gejolak di jalanan yang dipicu oleh ketidakpuasan rakyat terhadap rezim monarki, peristiwa ini berkembang menjadi revolusi yang mengguncang fondasi kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlavi.
Bagaimana sebuah bangsa, yang secara lahiriah tampak stabil dan modern, tiba-tiba dapat terjebak dalam pusaran transformatif yang begitu dahsyat? Apa saja kekuatan yang mendorong jutaan warga Iran untuk bangkit dan menuntut perubahan radikal?
Menjelang Badai Revolusi
Revolusi 1979 berakar pada sejarah panjang Iran, menyatukan beragam kelompok sosial yang pernah bersatu sebelumnya dalam Revolusi Konstitusional 1905–1911—seperti ulama, pemilik tanah, cendekiawan, dan pedagang. Namun, upaya reformasi selalu terhambat oleh konflik internal dan campur tangan asing. Inggris, Rusia, dan kemudian Amerika Serikat, seringkali berperan dalam urusan dalam negeri Iran.
Misalnya, Inggris membantu Reza Shah Pahlavi mendirikan monarki pada tahun 1921. Selanjutnya, pada tahun 1941, Inggris dan Rusia bahkan memaksa Reza Shah untuk mengasingkan diri, membuka jalan bagi putranya, Mohammad Reza Pahlavi, untuk naik takhta. Pada tahun 1953, CIA AS dan MI6 Inggris mengatur kudeta terhadap Perdana Menteri Mohammad Mosaddegh di tengah perebutan kekuasaan dengan Mohammad Reza Shah.
Beberapa tahun kemudian, Mohammad Reza Shah membubarkan parlemen dan meluncurkan "Revolusi Putih," sebuah program modernisasi yang agresif. Meskipun berhasil secara ekonomi, program ini mengusik kekayaan dan pengaruh pemilik tanah serta ulama, mengganggu ekonomi pedesaan, dan mendorong urbanisasi serta westernisasi yang pesat.
Program ini, seperti dilansir Britannica, juga memicu kekhawatiran tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Manfaat ekonomi yang dihasilkan Revolusi Putih tidak terdistribusi secara merata, dan dampak transformatifnya pada norma dan institusi sosial dirasakan luas.
Penolakan terhadap kebijakan Shah semakin intens pada tahun 1970-an. Ketidakstabilan moneter global dan fluktuasi konsumsi minyak Barat mengancam ekonomi Iran yang sangat bergantung pada proyek-proyek berbiaya tinggi. Dekade pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, pengeluaran pemerintah yang besar, dan harga minyak yang melonjak justru menyebabkan inflasi tinggi serta stagnasi daya beli dan standar hidup rakyat.
Selain kesulitan ekonomi, represi sosiopolitik oleh rezim Shah juga meningkat tajam. Partisipasi politik sangat terbatas, dan partai-partai oposisi seperti Front Nasional dan Partai Tūdeh yang pro-Soviet terpinggirkan atau dilarang. Protes sering dihadapi dengan sensor, pengawasan, dan pelecehan; penahanan ilegal dan penyiksaan adalah hal yang lumrah.
Dalam kondisi ini, para intelektual sekuler, yang biasanya skeptis terhadap otoritas ulama, justru terpukau oleh daya tarik populis Ayatollah Ruhollah Khomeini. Khomeini, seorang mantan profesor filsafat yang diasingkan pada tahun 1964 karena menentang keras program reformasi Shah, menjadi figur sentral. Mereka percaya bahwa dengan bantuan ulama, Shah dapat digulingkan.
Baca Juga: Belati Topkapi, Hadiah Kaya Makna dari Kekaisaran Ottoman untuk Persia
KOMENTAR