Nationalgeographic.co.id—Di tengah amukan topan di Filipina, kekeringan yang melanda India, dan banjir di Thailand, Asia berdiri di garis depan krisis iklim.
Kawasan ini bukan hanya korban, melainkan pemain kunci dalam mengatasi perubahan iklim global, dengan menyumbang 51% emisi karbon dan 82% pembangkit listrik tenaga batu bara dunia.
Namun, respons finansial yang ada masih jauh dari memadai. Kebutuhan akan modal yang berani dan transformatif menjadi semakin mendesak.
Kesenjangan Investasi yang Mendesak di Asia
Asia diproyeksikan membutuhkan AS$1,1 triliun (setara Rp18.000 triliun) setiap tahun hingga tahun 2030 untuk mencapai tujuan iklim dan alamnya. Ironisnya, tingkat investasi saat ini baru mencapai sepertiga dari angka tersebut, menyisakan kesenjangan yang sangat besar.
Permasalahannya bukan hanya tentang kuantitas, tetapi juga tentang cara modal tersebut dialokasikan. Proyek-proyek yang memiliki dampak tinggi, seperti restorasi alam, peningkatan ketahanan iklim, dan inisiatif adaptasi yang digerakkan oleh komunitas, seringkali terhambat karena nilai investasi yang kecil, persepsi risiko yang tinggi, dan kurangnya model bisnis yang terbukti.
Di sisi lain, para penyedia modal—pemerintah, investor, dan lembaga filantropi—kerap kali beroperasi secara terpisah. Akibatnya, inisiatif-inisiatif yang menjanjikan kesulitan untuk berkembang atau bahkan memulai karena tidak adanya platform terintegrasi untuk kolaborasi atau kendaraan yang mampu menggabungkan berbagai jenis pendanaan.
"Untuk memenuhi skala krisis iklim dan alam, kita tidak bisa terus mendanai investasi 'aman' di masa yang tidak aman," ungkap Naina Subberwal Batra, Chief Executive Officer AVPN, jaringan investor sosial terbesar di Asia, seperti dilansir laman World Economic Forum.
Ia menambahkan, "Asia memiliki modal dan keyakinan untuk memimpin masa depan yang regeneratif, tetapi hanya jika kita beralih dari proyek percontohan yang terfragmentasi ke agenda investasi bersama yang berlandaskan kepercayaan, tindakan selaras, dan visi jangka panjang."
Modal Katalitik: Kunci Perubahan Sistemik
Laporan terbaru dari GAEA (Giving to Amplify Earth Action) dan Institute of Sustainability and Technology (IST), berjudul Accelerating Impact Investments for Climate and Nature in Asia, yang diluncurkan pada One Earth Summit bulan ini, menyoroti peran transformatif modal katalitik. Ini adalah pendanaan penyerap risiko, konsesional, atau tahap awal yang bertindak sebagai pemicu untuk menarik investasi swasta yang lebih besar.
Baca Juga: Inovasi Tanpa Sustainability: Benarkah Kita Membangun Masa Depan yang Menghancurkan Diri Sendiri?
KOMENTAR