Nationalgeographic.co.id–Titik kritis perubahan iklim semakin dekat. Emisi gas rumah kaca yang terus mencetak rekor diperkirakan akan menghabiskan “anggaran karbon” Bumi hanya dalam tiga tahun ke depan.
Jika tren ini terus berlangsung, umat manusia hampir pasti akan melampaui ambang pemanasan global 1,5 derajat Celsius—batas penting yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015.
Melampaui batas ini berarti membuka pintu bagi risiko bencana iklim yang lebih sering, lebih ekstrem, dan tak dapat dipulihkan.
Laporan terbaru menunjukkan bahwa emisi global saat ini berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Jika tidak dikendalikan, “anggaran karbon” Bumi bisa habis dalam waktu yang sangat singkat. Ketika itu terjadi, planet ini hampir pasti akan melampaui batas simbolis 1,5 derajat Celsius—yang selama ini dianggap sebagai garis aman terakhir bagi iklim dunia.
Pemanasan hingga 2 derajat Celsius dipandang sebagai ambang batas kritis. Jika terlewati, kemungkinan terjadinya kerusakan iklim yang parah dan tidak dapat dibalikkan meningkat tajam, termasuk gelombang panas ekstrem, kekeringan berkepanjangan, serta mencairnya lapisan es di Greenland dan Antartika Barat.
Melalui Perjanjian Paris 2015, hampir 200 negara berkomitmen untuk menahan kenaikan suhu global agar tetap di bawah 2 derajat Celsius, dan sebisa mungkin mendekati 1,5 derajat.
Namun, menurut penilaian terbaru dari lebih dari 60 ilmuwan iklim terkemuka dunia, target ini semakin sulit dicapai. Mereka memperkirakan hanya tersisa 143 miliar ton karbon dioksida (sekitar 130 miliar metrik ton) sebelum Bumi melewati batas tersebut, sementara umat manusia saat ini melepaskan lebih dari 46 miliar ton karbon dioksida (42 miliar metrik ton) setiap tahunnya.
Temuan ini dipublikasikan pada 19 Juni dalam jurnal Earth System Science Data.
“Jendela peluang untuk tetap berada di bawah 1,5°C semakin menyempit,” ujar Joeri Rogelj, salah satu penulis studi sekaligus profesor ilmu kebijakan iklim di Imperial College London.
“Pemanasan global sudah memengaruhi kehidupan miliaran orang di seluruh dunia. Setiap kenaikan kecil dalam suhu membawa konsekuensi besar: cuaca ekstrem yang lebih sering dan lebih parah.”
Peringatan bahwa Bumi akan melampaui batas 1,5°C bukanlah hal baru. Pada tahun 2020, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memperkirakan anggaran karbon yang tersisa masih sekitar 550 miliar ton. Namun, emisi terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara laporan IPCC berikutnya baru akan terbit pada 2029.
Baca Juga: 2 Miliar Orang Terancam Pola Hujan Kacau akibat Perubahan Iklim
Untuk mengisi celah informasi tersebut, para ilmuwan menyusun laporan tahunan dengan mengkaji sepuluh indikator perubahan iklim. Di antaranya adalah emisi bersih gas rumah kaca, ketidakseimbangan energi Bumi, perubahan suhu permukaan, kenaikan permukaan laut, suhu ekstrem global, dan sisa anggaran karbon.
Hasil analisis mereka sangat mengkhawatirkan. Pemanasan global saat ini berlangsung dengan laju sekitar 0,27°C per dekade, dan suhu rata-rata Bumi telah naik 1,24°C dibandingkan era praindustri.
Panas berlebih ini terakumulasi di atmosfer lebih dari dua kali lipat dibandingkan dekade 1970-an dan 1980-an. Bahkan, pada dekade ini, Bumi memerangkap panas 25% lebih cepat dibandingkan dekade sebelumnya. Sekitar 90% panas berlebih itu diserap oleh lautan, yang kemudian mengganggu ekosistem laut, mencairkan es, dan menyebabkan kenaikan permukaan laut dua kali lebih cepat dibandingkan era 1990-an.
“Sejak tahun 1900, permukaan laut rata-rata global telah naik sekitar 228 milimeter. Meski tampak kecil, angka ini berdampak besar bagi wilayah pesisir rendah—meningkatkan risiko badai, erosi pantai, dan mengancam manusia serta ekosistem pesisir,” jelas Aimée Slangen, klimatolog di NIOZ Royal Netherlands Institute for Sea Research.
“Yang mengkhawatirkan, kami tahu bahwa kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim terjadi secara perlahan. Itu artinya, kenaikan tambahan sudah tak terhindarkan dalam beberapa tahun dan dekade mendatang.”
Dampak pemanasan ini diprediksi akan sangat berat bagi umat manusia. Sebuah studi memperkirakan hasil panen tanaman pokok seperti jagung dan gandum di Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia bisa turun hingga 40% sebelum akhir abad ini. Studi lain bahkan menunjukkan peningkatan luar biasa dalam tingkat kekeringan global, dengan 30% wilayah daratan mengalami kekeringan sedang hingga ekstrem pada tahun 2022.
Meski situasinya genting, laporan ini tetap menyisakan harapan. Para peneliti memperkirakan bahwa emisi global kemungkinan akan mencapai puncaknya pada dekade ini sebelum menurun. Namun, hal itu hanya akan terjadi jika dunia segera mempercepat transisi ke energi bersih seperti angin dan surya, serta memangkas emisi karbon secara drastis.
“Emisi dalam sepuluh tahun ke depan akan menentukan seberapa cepat dan seberapa dekat kita mencapai ambang 1,5°C,” kata Rogelj. “Kita harus bertindak cepat jika ingin mencapai target iklim yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris.”
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR